Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Menyoal Kedudukan Polri dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Sebagai Negara Demokrasi
UU Kepolisian menjadi dasar Polri sebagai institusi atau Alat Negara yang mandiri dengan fungsi dan kewenangan yang sangat besar
Editor: Eko Sutriyanto
Maka oleh karena itu, sudah sepatutnya semua cabang kekuasaan itu dipimpin oleh rakyat (sipil) dalam hal ini Polri harus bernaung dalam lembaga negara yang dipimpinan seorang Menteri atau Lembaga Negara setingkat Menteri yang dipimpim seorang sipil.
Hal ini diperlukan agar marwah negara demokrasi tersebut dapat terwujud. Adanya Polri yang langsung dibawah Presiden dan Polri langsung dibawah Komando seorang Jenderal Polisi yang bertanggungjawab kepada Presiden dalam pelaksanaan tugasnya tentunya merupakan bentuk penyimpangan dari negara Demokrasi (Pemerintahan Rakyat, dari rakyat dan untuk rakyat).
Dengan demikian, agar kedudukan Polri dalam sistem ketatanegaraan Indonesia sesuai dengan konsep negara demokrasi maka dalam pelaksanaan tugas dan adminsitrasinya harus dibawah Lembaga negara yang dipimpin oleh masyarakat sipil.
Seperti halnya TNI yang saat ini yang secara kebijakan dan administratif tidak berada secara langsung dibawah Presiden melainkan dibawah koordinasi Kementerian Pertanahanan.
Selain itu, kedudukan Polri yang langsung di bawah presiden akan cenderung dipolitisasi dan disalahgunakan untuk kepentingan kekuasaan. Meski diakui juga tidak ada jaminan bahwa perubahan kedudukan Polri di bawah kementerian tidak lagi mengundang politisasi oleh kekuasaan.
Akan tetapi, perubahan tersebut diyakini sedikit banyak akan memperkecil potensi politisasi dan penyalahgunaan Polri oleh kekuasaan. Perubahan kedudukan Polri menjadi di bawah kementerian atau Lembaga negara setingkat kementerian merupakan kelanjutan dari reformasi Polri pasca refomasi demi mewujudkan Polri yang profesional dan bukan alat kekuasaan, Polri harus menjadi sebagimana yang dikehendaki oleh UUD 1945 yaitu pelindung rakyat dan penjaga ketertiban.
Dengan kedudukan sebagaimana yang diatur dalam UU Kepolisian saat ini, Polri dianggap sebagai institusi yang super power dengan membela kepentingan penguasa dan karena langsung dibawah kekuasaan ditambah dengan kewenangan yang sangat besar terutama dalam penegakan hukum menyebabkan banyak oknum anggota Polri yang lupa daratan, lupa akan tugas dan fungsi sebagai pelindung dan pengayom masyarakat, sehingga penyalahgunaan kewenangan (abuse Of Power) seolah-olah menjadi hal yang biasa.
Kekuasaan Polri dipandang sangat besar dengan kedudukannya di bawah Presiden sehingga seolah-olah menjadi alat kekuasaan penguasa dan tidak memiliki sense of crisis terhadap permasalahan yang ada di masyarakat.
Dengan kedudukan langsung di bawah Presiden sebagaimana yang diatur dalam UU Kepolisian saat ini, menyebabkan Polri beranggapan bahwa hanya Presiden yang dapat melakukan pengawasan terhadap Polri. Sementara itu, Presiden tentunya tidak akan mampu mengawasi Polri secara terus menerus dikarenakan Presiden sebagai Kepala Negara dan sebagai Kepala Pemerintahan juga sibuk dengan pelaksanaan tugas lainnya.
Disamping itu dari segi waktu Presiden juga terbatas sehingga tidak akan mungkin ada pengawasan yang efektif terhadap kinerja Polri apalagi didalamnya terdapat oknum-oknum yang bermoral tidak baik. Sedangkan lembaga negara lain tidak akan didengarkan oleh Polri jikalau akan melakukan pengawasan karena Polri beranggapan bahwa secara vertical hanya bertanggungjawab kepada Presiden.
Dengan dilakukan perubahan kedudukan Polri dibawah Kementerian atau Lembaga Negara setingkat Kementerian maka pengawasan terhadap pelaksanaan fungsi, tugas dan kewenangan Polri dapat berjalan dengan baik karena dapat dilakukan oleh banyak pihak termasuk dengan memperkuat fungsi Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas). Selain itu, apabila Polri dibawah Kementerian atau Lembaga Negara Setingkat Kementerian, maka nantinya akan dapat dilibatkan pengawas dari unsur masyrakat, sehingga Polri diharapkan dapat menjadi Polisi masyrakat yang dicintai serta dipercayai oleh masyarakat.
Berdasarkan UU Kepolisian, terdapat tumpang tindihnya tugas dan wewenang Kapolri. Selain sebagai penyelenggara operasional, Kapolri juga merumuskan berbagai kebijakan non operasional yang menentukan kebijakan strategis penyelenggaraan fungsi kepolisian negara. Dengan demikian ketentuan dalam UU Kepolisan yang menyatakan Kapolri memiliki kewenangan untuk menentukan kebijakan teknis operasional, dalam kenyataannya bisa lebih luas seperti lahirnya satgasus diluar struktur organisasi polri yang ada.
Padahal secara teori harus terjadi pemisahan yang tegas antara kekusaan pembetukan peraturan dan kekuasan melaksanakan peraturan. Keadaan yang demikian ini tentunya juga bertentangan dengan konsep negara demokrasi dan konsep pembagian/pemisahan kekuasaan yang tujuan utamanya adalah pembatasan kekuasaan agar tidak terjadi otoriter dalam menjalankan kekuasaan.
Hal ini terjadi dikarenakan dalam pengambilan kebijakan dan administrasi Kapolri tidak dalam koordinasi Lembaga Negara Lain.
*) Dosen tetap Program Studi Magister Hukum Universitas Pertiba Pangkal Pinang
Advokat pada Federasi Advokat Republik Indonesia