Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Guru Besar, Prabowo, Gibran, Lalu Siapa Lagi?
Kepekaaan guru besar yang mengeluarkan imbauan moral itu terbilang terlambat muncul. Padahal, tanda-tanda despotisme Jokowi telah tampak sejak lama.
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNERS - Sempurna sudah; Gibran, selaku calon wakil presiden, memang lahir dari rahim niretik.
Bayangkan jika dia dan Prabowo keluar sebagai pemenang pesta demokrasi 2024, apa yang bisa kita katakan tentang presiden dan wakil presiden Indonesia?
Lalu, siapa yang semestinya bisa dan bertanggungjawab atas kelancungan politik yang saya sinonimkan dengan Gibrangate itu?
Mungkinkah mosi yang disampaikan sekian banyak guru besar perguruan tinggi pada hari-hari belakangan ini akan berdampak pada perubahan situasi? Semestinya demikian.
Para guru besar sudah bersuara. Itu patut dinilai sebagai sikap yang sangat positif dan konstruktif. Tapi, tanpa mengurangi rasa hormat kepada para Begawan itu, saya memandang mosi para guru besar itu sebagai tiga hal.
Pertama, mereka “hanya” berani main keroyokan. Bandingkan dengan Prof. Amien Rais dan Prof. Din Syamsudin yang sudah sejak dulu berani melontarkan kritik bertubi-tubi secara sendirian.
Ada pula nama Taufik Bahaudin. Dikenal selalu mengenakan jaket almamaternya yang berwarna kuning, Taufik Bersama UI Watch tak putus-putus menyoroti kebijakan dan kelakuan tidak pantas rezim. Dan itu sudah mereka lakukan sejak periode awal kepresidenan Jokowi.
Kedua, kepekaan para guru besar yang mengeluarkan imbauan moral itu terbilang terlambat muncul. Padahal, tanda-tanda despotisme Jokowi telah tampak sejak lama.
Tentu semua ingat, misalnya, Rocky Gerung dan Ustad Abdul Somad sudah sejak lama berulang kali dilarang masuk kampus. Kriminalisasi juga berlangsung di sana-sini berujung pada pemenjaraan terhadap kalangan oposisi.
Ketiga, pernyataan para guru besar sebatas imbauan klise dan normatif.
Imbauan moral hari ini tidak akan bisa menjebol despotisme yang sudah kadung menggurita ke mana-mana dan mengooptasi sekian banyak lembaga negara.
Setelah kerusakan ini terlanjur parah, para guru besar baru hadir, itu pun dengan diksi-diksi klise yang pasti diabaikan penguasa.
Karena para kaum cerdik cendekia yang datang dari kampus sangat diragukan akan bisa berefek gempur terhadap rezim, maka sosok berikutnya adalah Prabowo!
Prabowo harus memilih salah satu opsi.