Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Guru Besar, Prabowo, Gibran, Lalu Siapa Lagi?
Kepekaaan guru besar yang mengeluarkan imbauan moral itu terbilang terlambat muncul. Padahal, tanda-tanda despotisme Jokowi telah tampak sejak lama.
Editor: Malvyandie Haryadi
Tapi lagi-lagi, mengandalkan Prabowo untuk melakukan koreksi, setali tiga uang dengan menantikan keajaiban datang dari mosi para guru besar, adalah laksana pungguk merindukan bulan. Jadi, ke mana lagi harapan layak digantungkan?
Publik punya alasan kuat untuk mengecam habis-habisan putusan Mahkamah Konstitusi dan keputusan Komisi Pemilihan Umum.
Keduanya disimpulkan sebagai produk pelanggaran etik berat.
Dari ketidaketisan itu mbrojol sungsang paslon 02.
Tapi apa respon DPR? Ini masalah kedua.
Apalagi PDIP, selaku parpol yang paling banyak menguasai kursi parlemen, ternyata tidak mengambil langkah konkret apa pun terhadap serbaneka pelanggaran etik, lebih-lebih oleh presiden, tadi.
Pada titik ironi itulah upaya Ganjar dan Mahfud untuk menunjukkan distinct position mereka terkesan sia-sia.
Susah payah mantan Gubernur Jawa Tengah dan mantan Menkopolhukam itu, baik di panggung debat maupun di forum-forum lainnya, mencoba meyakinkan publik bahwa mereka adalah paslon dengan standar etik yang sangat tinggi.
Namun manakala parpol utama pengusung mereka tidak melakukan apa pun sebagaimana tertulis tadi, lantas seberapa jauh masyarakat bisa teryakinkan oleh klaim Ganjar dan Mahfud itu?
Apabila PDIP hanya bisa melakukan pembiaran, maka jangan salahkan khalayak jika kemudian muncul anggapan bahwa PDIP pun pada dasarnya telah melakukan ketidakpatutan politik.
Alhasil, ketimbang semata-mata menonjok paslon 02, parpol sebesar PDIP pun sesungguhnya layak dijewer. PDIP adalah parpol besar.
Pasca reformasi, PDIP-lah partai yang paling sering melahirkan tokoh yang kemudian menjadi presiden Indonesia.
Tapi saat menghadapi berbagai pelanggaran etik terkait kontestasi pemilihan presiden 2024, kepada PDIP perlu diberikan kaca benggala agar bisa bercermin bahwa diri mereka tidak memantulkan bayang-bayang banteng ketaton.
Yang terlihat justru banteng yang di tubuhnya tertancap sekian banyak pedang dan teruyung-uyung coba menyeruduk sang matador dengan sisa-sisa napasnya.
Tambahan lagi karena penguasa saat ini dulunya juga merupakan kader kebanggaan PDIP, dan sang penguasa itu kini diidentikkan banyak pihak dengan tiga bentuk perilaku niretik (nepotisme, penyalahgunaan anggaran negara dan alat negara untuk kepentingan pribadi, serta quid-pro-quo), maka--suka tak suka--PDIP sesungguhnya menanggung dosa politik paling berat.