Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Mengapa Kita Butuh Masa Tenang Sebelum 14 Februari?
Bukan hanya masyarakat awam. Polisi, yang secara kultural harus "siap, 86, perintah!", pun tidak imun terhadap stres hebat.
Editor: Malvyandie Haryadi
Oleh: Reza Indragiri Amriel
Psikolog Forensik
TRIBUNNERS - Berdasarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) 15/2023, masa tenang Pemilu 2024 jatuh pada tanggal 11 hingga 11 Februari 2023.
Mengapa kita butuh masa tenang sebelum 14 Februari? Yuk, simak hasil studi.
1) Peningkatan ekspos kampanye politik di media massa, apalagi plus media sosial, disusul oleh peningkatan angka kecemasan masyarakat.
2) Itu menambah beban terhadap kesehatan mental yang telah masyarakat derita sejak keluarnya putusan MK beberapa bulan silam. Putusan MK itu membuat Gibran serta-merta memenuhi syarat usia untuk maju sebagai cawapres.
Memang betul-betul ada pengaruh putusan hukum terhadap kondisi batin publik?
Ya. Putusan di Mahkamah Agung Amerika Serikat, yang juga menjungkirbalikkan peraturan perundang-undangan, diketahui berasosiasi dengan depresi dan kecemasan pada khalayak luas.
3) Bukan hanya masyarakat awam. Polisi, yang secara kultural harus "siap, 86, perintah!", pun tidak imun terhadap stres hebat.
Salah satu penyebabnya adalah citra buruk lembaga kepolisian sebagaimana dipotret media. Dan sulit disangkal; pada bulan-bulan terakhir ini bertubi-tubi pemberitaan tentang penyalahgunaan alat-alat negara, spesifik institusi kepolisian, untuk tujuan politik partisan oleh penguasa.
"Tugas ekstra" itu menyedot stamina polisi. Potret buruk oleh media juga memengaruhi relasi polisi dan khalayak, sehingga pada gilirannya secara kuat menekan psikis personel polisi.
4) Sebagian elit dari hari ke hari kian risau akan dinamika elektabilitas. Pandangannya terhadap dunia semakin negatif.
Dari unpredictable, threatening, hingga dangerous. Penanda kegalauan parah itu adalah tindak-tanduk elit politik yang kian urakan, slebor, dan vulgar.
5) Bedakan antara kampanye hitam dan kampanye negatif. Kampanye negatif berbasis pada fakta tentang keburukan dan kegagalan politikus.
Rasanya, dibanding kampanye positif, kabar-kabar negatif lebih menempel di ingatan khalayak luas.
Hitung-hitungan di atas kertas, itu justru mempertinggi kemungkinan golput (political turnout) atau pun meradikalisasi sikap politik. Waspadai kekecewaan dan kegusaran yang berkepanjangan pasca pemilu.
6) Kandidat presiden yang hasil surveinya menunjukkan elektabilitas yang tinggi jangan buru-buru gembira.
Pasalnya, dibandingkan kontestan yang kalah, sang presiden umurnya 2,7 persen lebih pendek. Pemenang pilpres juga 23 persen lebih tinggi risikonya mengalami kematian dini.
Jadi, kita memang butuh masa tenang. Masyarakat perlu manfaatkan waktu untuk healing.
Lebih-lebih para capres. Mereka perlu berpikir ulang. Sadarlah, bahwa semakin terlena capres oleh hasil survei, sesungguhnya semakin cepat pula nantinya--pasca dilantik--ia pulang ke alam baka.