Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Rakyat Sekarat di Lumbung Beras
Sebagai catatan ini adalah impor beras untuk kebutuhan umum, yang akan digunakan mengisi stok cadangan beras pemerintah (CBP) di gudang Bulog.
Editor: Hasanudin Aco
Antre Beras
Jika menilik data tersebut, maka harapan mencapai swasembada beras juga akan tinggal mimpi belaka. Jangankan swasembada, kini di mana-mana rakyat justru antre membeli beras yang harganya terjangkau dari operasi pasar pemerintah. Ibaratnya, rakyat sekarat di lumbung beras.
Baras mahal. Pemicunya adalah kelangkaan. Adapun pemicu kelangkaan, selain ulah tengkulak nakal, juga karena produksi beras memang menurun setiap tahun.
Kebutuhan nasional beras tahun 2024 diprediksi mencapai 31,21 juta ton dengan taksasi produksi mencapai 32 juta ton. Produksi ini dikhawatirkan kurang untuk memenuhi kebutuhan hingga akhir tahun. Apalagi, BPS telah memprediksi ada potensi defisit 2,82 juta ton beras di periode Januari-Februari 2024.
Menguntungkan Petani?
Apakah mahalnya harga beras ini akan menguntungkan petani? Ternyata tidak juga.
Sebab, sebagian petani padi merupakan konsumen neto beras (net consumers) yang masih harus membeli beras dengan harga pasar untuk memenuhi kebutuhan sehari-sehari. Produksi padi yang dihasilkan tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan konsumsi beras mereka.
Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) memperlihatkan bahwa pada 2004 sekitar 6,2 persen rumah tangga di Indonesia merupakan petani padi sekaligus konsumen neto beras.
Sementara itu, pada saat sama sekitar 24,6 persen rumah tangga di Indonesia merupakan petani padi. Itu artinya, sekitar seperempat rumah tangga petani padi di Indonesia juga merupakan konsumen neto beras.
Dengan mencermati perkembangan yang dipotret melalui hasil Sensus Pertanian dalam dua dekade terakhir, besar kemungkinan proporsi petani padi yang juga konsumen neto beras lebih besar lagi untuk kondisi saat ini.
Mudah diduga, petani padi yang merupakan konsumen neto beras adalah petani kecil dengan rata-rata penguasaan lahan sawah relatif sempit. Kondisi ini mengakibatkan budidaya tanaman padi yang dijalankan cenderung subsisten, tidak efisien, dan tidak memenuhi skala ekonomi menguntungkan.
Sensus Pertanian 2013 mencatat, rata-rata luas lahan sawah yang dikuasai rumah tangga pertanian pengguna lahan sawah hanya sebesar 0,39 hektare per rumah tangga. Dengan lahan sawah seluas itu, rata-rata luas tanaman padi yang dibudidayakan setiap rumah tangga hanya sekitar 0,67 hektare per tahun.
Lonjakan jumlah rumah tangga petani gurem dengan penguasaan lahan kurang dari setengah hektare dalam sepuluh tahun terakhir, sebesar 2,64 juta rumah tangga (18,54 persen), memberi indikasi kuat bahwa rata-rata luas lahan sawah yang dikuasai petani padi saat ini semakin menyusut, atau lebih rendah dari kondisi sepuluh tahun lalu.
Mengapa produksi beras terus menurun?