Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Rakyat Sekarat di Lumbung Beras
Sebagai catatan ini adalah impor beras untuk kebutuhan umum, yang akan digunakan mengisi stok cadangan beras pemerintah (CBP) di gudang Bulog.
Editor: Hasanudin Aco
Pertama, karena masifnya alih fungsi lahan produktif pertanian menjadi pemukiman, area bisnis, dan tempat wisata. Fenomena ini terjadi di seluruh Indonesia, termasuk di Pantura Pulau Jawa yang merupakan sentra produksi padi seperti Karawang, Subang, Indramayu dan Cirebon di Jawa Barat.
Kedua, karena mahalnya harga pupuk. Dari 2014 hingga 2018 alokasi pupuk subsidi relatif konstan di angka 9,5 juta ton. Kemudian, sejak tahun 2019, anggaran subsidi pupuk terus mengalami penurunan hingga berada pada Rp24 triliun pada 2023.
Mahalnya bahan baku pupuk, khususnya urea dan KCL, yang diimpor dari Rusia yang sedang berperang dengan Ukraina, menjadi alasan pupuk mahal.
Perang melibatkan dua negara bertetangga ini juga menghambat proses distribusi. Inilah yang menyebabkan harga pupuk naik. Sebab, duitnya tetap, tetapi jumlah pupuk yang bisa dibeli berkurang. Alokasi pupuk subsidi juga berkurang dari 9,5 juta ton, turun 7,5 ton juta ton, turun 6,5 juta ton, turun lagi menjadi 4,8 juta ton.
Ketiga, karena pemuda di desa-desa tidak tertarik menjadi petani karena masa depannya memang tidak menjanjikan. Mereka lebih memilih mengejar mimpi dengan urbanisasi ke kota-kota untuk bekerja di pabrik-pabrik yang lahan pabriknya “merempas” lahan produktif pertanian.
Keempat, karena memang dikondisikan oleh pihak-pihak tertentu yang memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Mereka adalah para pemburu rente.
Dengan adanya impor beras, maka rente akan berjalan. Semakin banyak impor, semakin banyak pula rentenya.