Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Apa yang Kita Ketahui saat Iran Gempur Langsung Israel
Sinyal Iran akan menyerang Israel dimulai saat pasukan komando Iran mengambilalih kapal kargo MSC Aries berbendera Portugal di Selat Hormuz.
Editor: Setya Krisna Sumarga
Ini terlihat saat Pentagon menggerakkan armada kapal induk USS Dwight Eisenhower mendekat ke Teluk Persia.
Pasukan AS juga langsung bertindak mencegat drone-drone kamikaze dan rudal Iran yang melintasi Irak dan Suriah.
Eskalasi dan keterlibatan AS serta Inggris kemungkinan akan meningkat drastis dalam beberapa hari ke depan.
Hal kedua yang bisa kita lihat, untuk pertama kali Iran mencatatkan sejarah langsung menyerang target di Israel, musuh bebuyutan mereka.
Ratusan rudal dan drone yang dikirimkan langsung ke Israel, menunjukkan kemampuan strategis Iran dalam peperangan regional.
Ini babak baru yang pasti akan mengubah lansekap konflik kawasan, mengingat Iran tak lagi ragu menggunakan metode perang asimetrik atau perang hibrida.
Hal ketiga yang langsung terdampak, harga minyak dunia terkerek. Serangan Iran ini pasti akan mengubah jalur pelayaran paling penting di dunia.
Laut Merah, Teluk Aden, dan Selat Hormuz menjadi jalur pelayaran paling berbahaya di dunia untuk saat ini.
Iran bisa jadi akan menutup Selat Hormuz, yang artinya menghentikan urat nadi perdagangan yang menentukan hidup matinya Timur Tengah.
Houthi Yaman yang serentak bersamaan serangan Iran menerbangkan drone kamikaze ke kota Eilat Israel, bisa memblokade Laut Merah di Teluk Aden yang sempit.
Lantas bagaimana sikap negara-negara di Timur Tengah atas serangan Iran ke Israel ini? Arab Saudi, Emirat Arab, Qatar, Bahrain, Oman, Kuwait memiliki pilihan hidup mati.
Sentimen anti-Israel dan pendukung utamanya seperti AS dan Inggris saat ini sangat kuat di masyarakat kawasan tersebut menyusul perang Gaza.
Sentimen ini menyebabkan kerawanan tinggi bagi eksistensi keluarga-keluarga penguasa di jazirah Arab, yang memiliki hubungan special dengan barat.
Kesalahan menghitung posisi, bisa menyebabkan badai keruntuhan kekuasaan seperti masa Arab Spring yang menghancurkan Tunisia, Libya, dan beberapa negara lain.