Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tujuan Terkait
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Satu Keluarga Satu Anak Perempuan, Ide Brilian Agar Indonesia Tidak Punah

Penata Kependudukan dan KB Ahli Madya Perwakilan BKKBN Sultra Dr. Mustakim menyoroti pernyataan viral dokter Hasto, Kepala BKKBN RI

Editor: Content Writer
zoom-in Satu Keluarga Satu Anak Perempuan, Ide Brilian Agar Indonesia Tidak Punah
Istimewa
Penata Kependudukan dan KB Ahli Madya Perwakilan BKKBN Sultra Dr. Mustakim 

Sebenarnya dokter Hasto sendiri sudah menyampaikan klarifikasinya, bahwa yang dimaksud satu keluarga satu anak perempuan adalah angka rata-rata. Bukan satu keluarga “wajib” punya satu anak perempuan. Tentu saja wilayah “wajib” adalah wilayahnya agama yang sumbernya adalah Tuhan. Manusia tidak mempunyai kemampuan mewujudkan hal tersebut karena urusan jenis kelamin anak dalam kandungan adalah wilayah “takdir Tuhan”.

Salah satu media yang memuat pernyataan dokter Hasto adalah detikjatim (Rabu, 03 Juli 2024) yang ditulis Nafilah Sri Nagita dengan judul berita: “BKKBN Minta Satu Pasangan Punya 1 Anak Perempuan, Ini Alasannya”. Pada alinea keenam tertulis: “Saya berharap adik-adik perempuan nanti punya anak rata-rata satu perempuan. Kalau di desa ada 1.000 perempuan, maka harus ada 1.000 bayi perempuan lahir.”

Kalimat tersebut, sudah sangat jelas menyebutkan bahwa yang dimaksud dokter Hasto adalah angka rata-rata, bukan angka individual tiap perempuan harus punya satu anak perempuan. Tapi, kehebohan tersebut adalah tantangan, atau “tantangan baru” bagi BKKBN yang menjadi titik balik “tantangan lamanya”.

Dalam tantangan lama BKKBN harus berhadapan (langsung) dengan para tokoh agama dan/atau keluarga-keluarga yang tidak setuju program KB dalam rangka menurunkan angka TFR. Dalam “tantangan baru” kali ini BKKBN harus berhadapan (tidak langsung) dengan para netizen yang “tidak setuju” dengan ide “1 keluarga 1 anak perempuan” dalam rangka mempertahankan TFR agar tetap pada posisi rata-rata 2,1.

● Menjaga Bendungan Tak Jebol

Ada dua hal yang dihadapi BKKBN dalam tantangan baru kali ini. Pertama, memberikan pemahaman kepada para netizen tentang maksud “1 keluarga/perempuan/WUS diharapkan memiliki 1 anak perempuan”. Tentu saja dengan menggunakan bahasa demografi atau setidaknya bahasa Total Fertility Rate (TFR) yang angkanya saat ini sudah perlu untuk dipertahankan agar tidak menukik turun hingga di bawah angka 2,0.

Masalahnya, jika angka TFR “terjun bebas” hingga di bawah angka 2,0 ketakutan yang sama pernah dialami seorang pakar demografi Prof. Aris Ananta. Sekitar tahun 2012 saat berada di Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS) Singapura, Prof. Aris Ananta pernah menyampaikan kegalauannya di depan tamu yang terdiri dari pejabat dan karyawan BKKBN (salahsatunya penulis sendiri) tentang keinginan BKKBN untuk menurunkan angka TFR hingga 2,1.

BERITA REKOMENDASI

Harapan beliau saat itu malah di sekitaran angka 2,4 atau 2,5. Sebab jika TFR berada pada angka 2,1 takutnya turun hingga di bawah 2,0. Ini mengingat angka 2,1 bedanya begitu tipis dengan 2,0.

Kedua, Mencermati kegalauan Prof. Aris Ananta dengan angka-angka TFR tersebut, dan dengan realita saat ini TFR Indonesia sudah pada posisi 2,14 atau 2,18, sepertinya tugas berat BKKBN bukan lagi menurunkan angka kelahiran tetapi sudah beralih ke menjaga stabilitas angka kelahiran (TFR) agar tetap pada posisi 2,1.

Jika diibaratkan maka tugas seperti ini ibarat “menjaga sebuah bendungan agar tidak jebol”. Bahkan bendungan yang dijaga oleh BKKBN bisa ditafsirkan “lebih berat” daripada menjaga bendungan air yang kita kenal selama ini.

Jika sebuah bendungan air jebol, ia akan jebol ke bawah (saja). Tapi jebolnya TFR (atau katakanlah sebagai “bendungan penduduk”) bisa ke bawah dan bisa ke atas. Jebol ke bawah, maksudnya TFR akan terjun bebas hingga (misalnya) ada pada posisi nol koma sekian, maka bisa berdampak pada punahnya bangsa Indonesia. Hal ini mengingat orang/keluarga/WUS Indonesia tidak ada lagi yang mau melahirkan anak, dan yang hidup pun pasti lambat laun habis/meninggal dunia.

Sedangkan jebol ke atas adalah kembali pada masa lalu di mana TFR Indonesia tinggi yang ujungnya akan berdampak pada “beratnya” pemenuhan kebutuhan-kebutuhan manusia Indonesia.

Agar “bendungan penduduk “atau Total Angka Kelahiran (TFR) tersebut tidak jebol (baik ke atas atau ke bawah), maka satu-satunya cara adalah kita mempertahankan angka TFR tetap pada posisi 2,1 atau Angka Kelahiran Rata-Rata dari setiap perempuan/Wanita Usia Subur (WUS) usia 15-49 tahun di Indonesia sebesar 2,1.

Angka 2,1 tersebut memiliki makna bahwa rata-rata WUS (atau sebagian lebih suka menyebut “keluarga” mengingat pada umumnya WUS punya anak di Indonesia adalah berkeluarga) mempunyai anak 2,1 atau 2 anak lebih sedikit. Realitanya dalam keluarga tentu ada yang punya anak dua atau tiga atau empat atau lebih. Tetapi juga ada yang tidak punya anak sama sekali meskipun WUS tersebut sudah berkeluarga. Nah, jika dirata-ratakan dari seluruh anaknya WUS (keluarga) di Indonesia saat ini adalah 2,1.

Halaman
123

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of

asia sustainability impact consortium

Follow our mission at sustainabilityimpactconsortium.asia

Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
berita POPULER
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas