Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Etika Negara Demokrasi, Membangun Politik, Hukum dan Ekonomi Bermartabat
Hubungan antara elite politik dan korupsi seringkali digambarkan sebagai simbiosis mutualisme yang mematikan.
Penulis: abdul qodir
Editor: Erik S
Oleh Pieter C Zulkifli - Pengamat hukum dan politik
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Korupsi menjadi 'penyakit kronis' yang tak habis menghantui bangsa Indonesia. Parahnya, praktik culas itu menjelma jadi ancaman yang serius bagi demokrasi Tanah Air.
Akar masalah korupsi semakin dalam, tertanam kuat dalam relasi antara elite politik dan kekuasaan. Keterlibatan elite dalam praktik korupsi bahkan telah menyandera politik nasional, menghambat pembangunan, dan menjauhkan masyarakat dari cita-cita keadilan sosial.
Hubungan antara elite politik dan korupsi seringkali digambarkan sebagai simbiosis mutualisme yang mematikan. Keduanya saling membutuhkan dan saling melindungi, menciptakan lingkaran setan yang sulit diputus.
Baca juga: Peringati Kemerdekaan RI, KPK: Songsong Peradaban Indonesia Maju Bebas Korupsi
Hukum tidak boleh tunduk dan patuh pada kekuasaan politik. Kekuasaan politiklah yang harus tunduk dan patuh pada hukum. Ini sikap dasar hidup bernegara yang benar. Sebab, kekuasaan di mana-mana cenderung korup dan sewenang-wenang. Tidak peduli siapa pemimpinnya.
Belakangan ini istilah 'politik sandera' semakin sering digunakan dalam percakapan politik di Indonesia. Istilah ini merujuk pada penggunaan instrumen hukum atau perkara hukum untuk menekan lawan politik atau pihak yang berseberangan.
Praktik ini bisa terjadi secara terang-terangan atau dilakukan dengan cara yang lebih tersembunyi melalui lobi-lobi di balik layar oleh para elite politik. Politik sandera yang memanfaatkan instrumen hukum sebagai alat tawar telah merusak kinerja institusi penegak hukum.
Alih-alih menjunjung tinggi prinsip keadilan dan kesetaraan, praktik ini justru menginjak-injak supremasi hukum, menjadikannya hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan pribadi atau kelompok tertentu.
Di sisi lain, penurunan indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia yang kini berada pada angka 34, menempatkan Tanah Air di peringkat 115 dari 180 negara pada 2023. Artinya, 'keberhasilan' penanganan korupsi Indonesia turun dari peringkat 110 pada tahun sebelumnya.
Penurunan ranking itu menandakan adanya masalah serius dalam penegakan hukum dan korupsi di Indonesia. Salah satu faktor yang mungkin berkontribusi adalah fenomena politik sandera dalam penanganan kasus korupsi.
Contoh terkini dari politik sandera ini ialah mundurnya Airlangga Hartarto dari kursi Ketua Umum Partai Golkar yang diduga kuat terkait dengan kasus korupsi fasilitas ekspor minyak sawit mentah (CPO) yang sedang diusut oleh Kejaksaan Agung (Kejagung).
Baca juga: Kejaksaan Agung Limpahkan Kasus Korupsi LPEI Ke KPK
Meskipun bukan satu-satunya faktor, kasus hukum ini setidaknya mencerminkan adanya tekanan politik yang digunakan untuk menekan Airlangga. Sebab, Airlangga sejauh ini cukup berani dan terbuka dengan isu hukum tersebut.
Itu dibuktikannya dengan memenuhi panggilan Kejagung tahun lalu. Dia sempat diperiksa selama 12 jam sebagai saksi dalam perkara ini.
Merusak Demokrasi
Politik sandera yang dilakukan melalui kasus hukum untuk menekan dan mengontrol lawan politik adalah noda hitam bagi demokrasi. Praktik ini mereduksi supremasi hukum menjadi alat untuk mengamankan kepentingan segelintir elite dan kelompoknya, bukan untuk menegakkan keadilan.