Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Dukungan Kesejahteraan Hakim Sebagai Komitmen Menjaga Martabat dan Kemandirian Hakim
Para hakim menggelar aksi di berbagai tempat dan melalui mogok kerja massal yang diperkirakan dimulai dari tanggal 7-10 Oktober 2024 secara serentak.
Editor: Hasanudin Aco
Solidaritas Hakim Indonesia juga menyampaikan beberapa data terkini yakni data mengenai beban perkara di Indonesia yang mencapai 8 jutaan, dan rata-rata seorang hakim peradilan umum harus menyelesaikan 800an perkara.
Banyak dari mereka yang kemudian menjadi jenuh atau stress karena tidak diimbangi dengan tunjangan yang memadai.
Hal ini ditengarai juga menjadi salah satu pemicu adanya oknum yang menyalahgunakan wewenang.
Aksi seperti ini bukan pertama kalinya terjadi.
Pada 2012 lalu para hakim juga mendatangi Komisi III PR terkait kesejahteraan hakim. Miris memang melihat aksi para Yang Mulia ini dan juga mendengar data dan fakta yang disampaikan oleh mereka, disaat negara kita adalah negara hukum sesuai UUD NRI 1945 dan Program Pembangunan Nasional yang menyasar pada transformasi hukum.
Jika dibandingkan dengan negara-negara lain, kondisi Hakim dan lembaga peradian, termasuk institusi penegak hukum di Indonesia memang dapat dikatakan kurang memadai. Hal ini tentu berdampak pada kualitas martabat hakim dan lembaga peradilan itu sendiri.
Di saat kita mencoba membangun sistem hukum yang adil dan kredibel sebagaimana negara yang maju dan beradab, upaya kita ini justru menemui berbagai kendala termasuk kekurangan sumber daya manusia, anggaran, sarana dan prasarana, infrastruktur, dan kebijakan itu sendiri.
Komisi 3 DPR dalam berbagai kesempatan kunjungan kerja maupun menerima masukan dari berbagai pihak telah banyak mendengar permasalahan di lembaga yudikatif ini. Keluhan hakim menjadi hal yang paling sering terjadi.
Persoalan terkait kesejahteraan, ketiadaan jaminan keamanan, kantor yang tidak layak dan rusak, ketiadaan rumah dinas atau kendaraan dinas, tidak juga diimbangi dengan dukungan anggaran.
Alhasil, hakim harus merogoh koceknya sendiri dan berakibat pada kurangnya kesejahteraan hingga pada kondisi memprihatinkan.
Lebih parah lagi, beberapa hal yang kurang elok dapat terjadi di wilayah-wilayah yang kurang mendapat perhatian. Seperti misalnya, hakim yang satu kos atau satu angkot setiap hari dengan Jaksa atau bahkan pihak-pihak berperkara.
Tak jarang mereka juga bertemu di rumah makan dan berbagai kegiatan lainnya secara mudah.
Hal ini selain menimbulkan potensi permasalahan netralitas juga mengancam keamanan dari hakim itu sendiri. Maka tak jarang memang seorang siswa lulusan fakultas hukum yang ingin menjadi hakim.
Komisi 3 DPR dalam bukunya “Transformasi Penegakan Hukum dan HAM” juga menuliskan catatan terkait kekurangan ini sebagai hal yang memprihatinkan dan patut diwaspadai sebagai pemicu penyalahgunaan dan pelanggaran etik.