Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Ketika Ekonomi Lesu, Apakah Politik yang Bergairah Bisa Menjadi Solusi?
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal kedua tahun 2024 hanya mencapai 4,9%, lebih rendah dari proyeksi awal sebesar 5,2%.
Editor: Seno Tri Sulistiyono
Pengaruh Politik Terhadap Dunia Usaha
Politik yang bergairah sering kali berpengaruh langsung terhadap dunia usaha, baik secara positif maupun negatif.
Ketika pemerintah mampu menciptakan iklim politik yang stabil dan berpihak pada dunia usaha, maka sektor swasta cenderung lebih berani berinvestasi.
Sebagai contoh, pada awal tahun 2020-an, reformasi perizinan yang diusung melalui Omnibus Law berhasil menarik minat investor asing, terutama di sektor manufaktur.
Namun, konflik politik yang berkepanjangan juga dapat memberikan dampak negatif terhadap iklim investasi.
Sebagai contoh, pada 2023, beberapa proyek besar di sektor energi terpaksa ditunda karena ketidakpastian politik yang disebabkan oleh tarik-menarik kepentingan antara pemerintah pusat dan daerah (Majalah Gatra, 2023).
Hal ini hemat saya menunjukkan bahwa dinamika politik yang terlalu intens dapat menghambat perkembangan ekonomi, terutama jika tidak ada arah kebijakan yang jelas.
Demokrasi atau Otokrasi Ekonomi?
Salah satu isu yang kini mengemuka di Indonesia adalah hubungan antara demokrasi dan ekonomi. Ada pandangan yang berkembang bahwa sistem politik yang demokratis memungkinkan terjadinya kebijakan ekonomi yang lebih inklusif dan berpihak pada rakyat banyak.
Namun, di sisi lain, ada juga pandangan bahwa demokrasi sering kali memicu ketidakstabilan, yang justru merugikan ekonomi.
Dalam sebuah artikel yang diterbitkan oleh Harvard Business Review pada 1 Februari 2024, disebutkan bahwa negara-negara dengan sistem demokrasi cenderung memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat dibandingkan negara-negara dengan sistem otokratis.
Hal ini disebabkan oleh proses pengambilan keputusan yang lebih panjang dan kompleks dalam sistem demokratis, yang sering kali memicu ketidakpastian bagi dunia usaha.
Namun, perlu dicatat bahwa meskipun otokrasi dapat memberikan stabilitas jangka pendek, dalam jangka panjang, ketergantungan pada otoritarianisme justru dapat membatasi inovasi dan meredam dinamika ekonomi.
Indonesia sendiri memiliki sejarah panjang tentang bagaimana otoritarianisme pada masa Orde Baru menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang pesat, namun juga menciptakan ketimpangan sosial yang signifikan, yang kemudian meletus menjadi krisis pada tahun 1998.