Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Ketika Ekonomi Lesu, Apakah Politik yang Bergairah Bisa Menjadi Solusi?

Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal kedua tahun 2024 hanya mencapai 4,9%, lebih rendah dari proyeksi awal sebesar 5,2%.

Editor: Seno Tri Sulistiyono
zoom-in Ketika Ekonomi Lesu, Apakah Politik yang Bergairah Bisa Menjadi Solusi?
HO
Tian Rahmat,S.Fil, Alumnus Filsafat IFTK Ledalero, Flores/Pemerhati isu-isu strategis. 

Tian Rahmat,S.Fil
Alumnus Filsafat IFTK Ledalero, Flores/Pemerhati isu-isu strategis 

TRIBUNNERS- Dalam beberapa tahun terakhir, perekonomian global dan nasional mengalami perlambatan yang signifikan. 

Dampak pandemi COVID-19, inflasi, ketidakpastian pasar, serta ketegangan geopolitik membuat banyak negara, termasuk Indonesia, berjuang untuk memulihkan perekonomiannya. 

Di tengah situasi ekonomi yang lesu, banyak yang bertanya-tanya: apakah dinamika politik yang bergairah dapat menjadi solusi untuk mengatasi masalah ekonomi?

Baca juga: Prabowo Akui Sering Diejek soal Targetkan Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen: Tunggu Tanggal Mainnya

Pertanyaan ini hemat saya relevan, terutama ketika kita melihat bagaimana politik menjadi pusat perhatian dalam berbagai keputusan kebijakan publik. 

Namun, untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu mengurai beberapa elemen penting: apakah benar politik yang bergairah mampu menggerakkan ekonomi, atau sebaliknya, justru menambah beban?

Ekonomi Lesu: Tanda-tanda yang Jelas

Berita Rekomendasi

Menurut laporan dari Bank Indonesia, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal kedua tahun 2024 hanya mencapai 4,9 persen, lebih rendah dari proyeksi awal sebesar 5,2% (Bank Indonesia, 2024). 

Faktor-faktor seperti penurunan daya beli masyarakat, inflasi yang terus meningkat, serta perlambatan investasi menjadi kontributor utama terhadap kondisi ekonomi yang stagnan ini. 

Selain itu, kenaikan harga pangan dan bahan bakar menambah tekanan terhadap kesejahteraan rakyat, khususnya kelompok ekonomi menengah ke bawah.

Ekonom senior Faisal Basri menyatakan bahwa ekonomi Indonesia saat ini sedang mengalami “periode ketidakpastian.” 

Menurutnya, kondisi ini diperburuk oleh lemahnya peran pemerintah dalam memberikan stimulus yang tepat kepada sektor-sektor penting seperti manufaktur dan infrastruktur. (Kompas, 12 Juni 2024, )

Politik yang Bergairah: Definisi dan Implikasinya

Politik yang bergairah, dalam konteks ini, merujuk pada dinamika politik yang intens, di mana aktor-aktor politik menunjukkan semangat dan keberanian dalam memperjuangkan ide-ide atau program-program mereka. 

Namun, hemat saya apakah gairah politik ini dapat membawa dampak positif terhadap ekonomi?

Sejumlah contoh di masa lalu menunjukkan bahwa politik yang dinamis kadang dapat mendorong perubahan kebijakan ekonomi yang penting. Contohnya adalah reformasi ekonomi yang dilakukan di awal masa pemerintahan Jokowi pada tahun 2014. 

Di tengah situasi politik yang cukup dinamis, Jokowi berhasil meluncurkan berbagai proyek infrastruktur yang memperkuat pertumbuhan ekonomi

Namun, keberhasilan ini tidak selalu terjadi, terutama ketika dinamika politik justru mengarah pada ketidakstabilan.

Di sisi lain, politik yang terlalu dinamis atau bahkan penuh dengan konflik justru dapat mengganggu ekonomi

Sebagai contoh, menurut World Bank dalam laporannya tahun 2023, negara-negara dengan tingkat ketidakstabilan politik yang tinggi cenderung mengalami perlambatan ekonomi yang lebih parah dibandingkan negara-negara dengan stabilitas politik yang baik. 

Hal ini disebabkan oleh investor yang enggan menanamkan modal di negara-negara dengan risiko politik yang tinggi.

Politik Ekonomi dan Kebijakan Populis

Salah satu isu utama yang muncul dalam politik Indonesia belakangan ini adalah kebijakan populis yang sering diambil oleh pemerintah maupun partai-partai politik untuk mendapatkan simpati rakyat. 

Kebijakan populis sering kali berfokus pada solusi jangka pendek yang dirancang untuk memenangkan suara dalam pemilu, tetapi mengabaikan dampak jangka panjang terhadap perekonomian.

Sebagai contoh, pada tahun 2023, pemerintah Indonesia meluncurkan program bantuan langsung tunai (BLT) untuk meredam dampak kenaikan harga BBM. 

Meskipun program ini mendapat sambutan positif dari masyarakat, ekonom memperingatkan bahwa langkah tersebut tidak berkelanjutan dan hanya memberikan solusi sementara (Tempo, 2023).

Di sisi lain, kebijakan yang lebih struktural dan berorientasi jangka panjang sering kali diabaikan. 

Faisal Basri dalam wawancaranya dengan CNN Indonesia pada 5 Mei 2024, menegaskan bahwa “Indonesia membutuhkan kebijakan yang fokus pada penguatan industri domestik, peningkatan daya saing ekspor, dan pengurangan ketergantungan pada impor. Tanpa kebijakan ini, ekonomi kita hanya akan berjalan di tempat.”

Pengaruh Politik Terhadap Dunia Usaha

Politik yang bergairah sering kali berpengaruh langsung terhadap dunia usaha, baik secara positif maupun negatif. 

Ketika pemerintah mampu menciptakan iklim politik yang stabil dan berpihak pada dunia usaha, maka sektor swasta cenderung lebih berani berinvestasi. 

Sebagai contoh, pada awal tahun 2020-an, reformasi perizinan yang diusung melalui Omnibus Law berhasil menarik minat investor asing, terutama di sektor manufaktur.

Namun, konflik politik yang berkepanjangan juga dapat memberikan dampak negatif terhadap iklim investasi. 

Sebagai contoh, pada 2023, beberapa proyek besar di sektor energi terpaksa ditunda karena ketidakpastian politik yang disebabkan oleh tarik-menarik kepentingan antara pemerintah pusat dan daerah (Majalah Gatra, 2023). 

Hal ini hemat saya menunjukkan bahwa dinamika politik yang terlalu intens dapat menghambat perkembangan ekonomi, terutama jika tidak ada arah kebijakan yang jelas.

Demokrasi atau Otokrasi Ekonomi?

Salah satu isu yang kini mengemuka di Indonesia adalah hubungan antara demokrasi dan ekonomi. Ada pandangan yang berkembang bahwa sistem politik yang demokratis memungkinkan terjadinya kebijakan ekonomi yang lebih inklusif dan berpihak pada rakyat banyak. 

Namun, di sisi lain, ada juga pandangan bahwa demokrasi sering kali memicu ketidakstabilan, yang justru merugikan ekonomi.

Dalam sebuah artikel yang diterbitkan oleh Harvard Business Review pada 1 Februari 2024, disebutkan bahwa negara-negara dengan sistem demokrasi cenderung memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat dibandingkan negara-negara dengan sistem otokratis. 

Hal ini disebabkan oleh proses pengambilan keputusan yang lebih panjang dan kompleks dalam sistem demokratis, yang sering kali memicu ketidakpastian bagi dunia usaha.

Namun, perlu dicatat bahwa meskipun otokrasi dapat memberikan stabilitas jangka pendek, dalam jangka panjang, ketergantungan pada otoritarianisme justru dapat membatasi inovasi dan meredam dinamika ekonomi

Indonesia sendiri memiliki sejarah panjang tentang bagaimana otoritarianisme pada masa Orde Baru menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang pesat, namun juga menciptakan ketimpangan sosial yang signifikan, yang kemudian meletus menjadi krisis pada tahun 1998.

Solusi: Kolaborasi Politik dan Ekonomi

Lalu, bagaimana kita bisa menemukan titik tengah antara politik yang bergairah dan ekonomi yang lesu? Salah satu solusinya adalah menciptakan kolaborasi yang harmonis antara para aktor politik dan ekonomi

Politik yang dinamis tidak harus selalu berarti konflik, namun dapat dijadikan sarana untuk merumuskan kebijakan-kebijakan yang inovatif dan berkelanjutan.

Dalam hal ini, hemat saya pemerintah perlu memastikan bahwa dinamika politik yang ada tidak sampai mengganggu stabilitas ekonomi

Kebijakan populis yang hanya bertujuan untuk meraih simpati sesaat perlu digantikan dengan kebijakan jangka panjang yang dapat memberikan manfaat nyata bagi rakyat. 

Selain itu, partisipasi dunia usaha dalam merumuskan kebijakan ekonomi juga harus diperkuat, agar solusi yang diambil lebih tepat sasaran.

Kesimpulan

Politik yang bergairah memang dapat memberikan dampak positif terhadap ekonomi, asalkan dinamika tersebut diarahkan pada kebijakan yang berorientasi jangka panjang dan inklusif. 

Namun, jika politik hanya digunakan sebagai alat untuk mencapai kepentingan jangka pendek, maka hasilnya justru dapat memperburuk situasi ekonomi yang sudah lesu. Kolaborasi antara aktor politik dan ekonomi, serta kebijakan yang tepat, adalah kunci untuk mengatasi tantangan ekonomi Indonesia saat ini.

Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas