Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Kabinet Zaken, Kapitalisme Non Ersatz, dan Sistem Meritokrasi
Kapitalisme tidak lagi memperkaya diri sendiri namun memajukan kapitalisme industri yang fokus pada kemajuan teknologi dan manufaktur melalui inovasi.
Editor: Hasanudin Aco
Belajar dari Singapura
Singapura adalah negara lain yang menerapkan Sistem Kapitalisme Non Ersatz. Pada 9 Agustus 1965, Singapura akhirnya melepaskan diri dari Malaysia. Saat itu, 70 persen warganya tinggal di kawasan kumuh. Lee Kuan Yew, Pedana Menteri Singapura kala itu, baru menginjak usia 36 tahun.
Ia telah memimpin Singapura sejak tahun 1959 dan berhasil membawa ekonomi negara tersebut meningkat 15 kali lipat sepanjang kepemimpinannya.
Banyak pengamat yang menyatakan Singapura mengalami keajaiban ekonomi. Betapa tidak, angka pengangguran menurun signifikan dari 13,5 persen menjadi 1,7 persen (20 tahun setelah mereka).
Singapura pun melejit dari third world country menjadi first world country dalam waktu 40 tahun.
Ternyata negara kecil, dimana kemiskinan merajalela dimana-mana, banyak warga yang tidak memiliki rumah, tanpa SDM yang mumpuni, bisa tumbuh berkembang menjadi negara super power.
Pada konteks Singapura, kepemimpinan memegang kunci penting. Saat ini FDI (Foreign Direct Investment) Singapura atas GDP (Gross Domestic Product)-nya mencapai 29,8%.
Sementara Vietnam di angka 4,4% Indonesia hanya 1,9% saja kendati telah memperoleh kemerdekaan lebih dahulu dari Singapura.
Bagi negara-negara berkembang, FDI memainkan peranan penting, terutama karena terbatasnya uang beredar, sementara kebutuhan dana sangat besar untuk mendorong pergerakan roda perekonomian (investasi, biaya memajukan SDM, mendorong inovasi dalam teknologi, dst).
Singapura memfokuskan diri menjadi efisien dan mandiri di bawah kepemimpinan Lee Kuan Yew. Upaya sistematis ini ternyata membuahkan hasil dan mengorbitkan Singapura menjadi salah satu keajaiban ekonomi dunia.
Pada tahap pertama, Pemerintah Singapura menerapkan strategi industrialisasi ekspor dengan menarik investor asing untuk mengatur basis manufaktur padat karya di Singapura dalam rangka mengerem pengangguran besar-besaran kala itu.
Selanjutnya, Singapura melakukan restrukturisasi industri dari padat karya menjadi padat modal.
Pada tahap ketiga, setelah terjadi resesi besar-besaran pada pertengahan tahun 1980, Singapura mulai melakukan rekonstruksi di bidang jasa dan membangun fundamental ekonominya melalui sektor jasa.
Tahap keempat yang dimulai sejak akhir 1990-an, Singapura mulai melakukan pembekalan layanan yang berbasis pengetahuan, sektor teknologi tinggi dan ekonomi domestik kewirausahaan.