Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Kabinet Zaken, Kapitalisme Non Ersatz, dan Sistem Meritokrasi
Kapitalisme tidak lagi memperkaya diri sendiri namun memajukan kapitalisme industri yang fokus pada kemajuan teknologi dan manufaktur melalui inovasi.
Editor: Hasanudin Aco
Kunci lain kesuksesan Singapura adalah pajak yang rendah, sedikit pembatasan modal, dan kebijakan imigrasi yang liberal sehingga menjadikan Singapura sebagai salah satu tempat paling kosmopolitan di Bumi.
Mereka memiliki perdagangan yang sangat bebas, tarif yang sangat rendah dan sangat sedikit hambatan non-tarif.
Terlepas dari menonjolnya ekonomi Singapura akibat mengimplementasikan pemerintahan yang mengedepankan profesionalisme, benang merah dari sistem Kabinet Zaken, Kapitalisme Non Ersatz, dan Sistem Meritokrasi adalah mengelola sebuah negara/ pemerintahan secara profesional dan mengeliminasi peluang-peluang distorsi terutama yang menyebabkan terjadinya korupsi, kolusi dan relasi kekerabatan baik dari kepentingan sesaat partai politik maupun kelompok dan golongan penguasa.
Kapitalisme Buruk (Brutal) di Indonesia
Jargon Indonesia emas 2045 seharusnya cukup menyilaukan namun mengapa belum mampu menarik arus investasi masuk ke Indonesia? Hal ini tak lain karena sistem politik dan hukum di Indonesia belum mampu memberikan rasa aman bagi para investor.
Weak law inforcement cause politics instability. Ketidakpastian semacam ini terbukti menyebabkan asing enggan menanamkan uang di Indonesia.
Alhasil persoalan internal secara signifikan menyebabkan ekonomi Indonesia hanya berjalan di tempat dan cenderung mengalami ketertinggalan terutama dibandingkan Singapura dan Vietnam.
Pada konteks negara-negara tertentu, kapitalisme khususnya Kapitalisme Non Ersatz justru melindungi dan mendorong perkembangan ekonomi suatu negara. Sebut saja Korea Selatan yang pemerintahnya melindungi dan mendorong perkembangan ekonomi para chaebol.
Pada konteks Indonesia, yang terjadi justru kapitalisme ‘brutal’.
Mengapa demikian, buku The Rise of Ersatz Capitalism in South-East Asia (1988) yang ditulis oleh Kunio Yoshihara menganggap kapitalisme Indonesia bersifat Ersatz atau pseudo capitalism.
Brutalitas kapitalisme di Indonesia telah menyebabkan kekayaan sumber daya alam tidak menjadi kebahagiaan bagi rakyat, koperasi ditelantarkan, maraknya transaksi-transaksi gelap antara wakil-wakil kapitalis dengan tokoh-tokoh politik nasional yang memastikan negara sebagai komoditi bagi para pemodal.
Gejala ini semakin tak terkendali setelah kekuatan politik dunia mensukseskan liberalisasi demokrasi di Indonesia.
Hampir semua negara dunia ketiga mengeluhkan tentang teknologi dan modal. Hanya kemandirian (inisiatif dan itikad yang kuat) yang menghalangi mereka untuk tidak menjadi ‘budak’ bagi yang lain.
Pekerjaan rumah ini telah diselesaikan dengan baik oleh Singapura, namun tidak demikian dengan Indonesia.
Singapura juga menegaskan sistem Pemerintahan Meritokrasi. Sosok kepemimpinan yang menjadi teladan cukup dominan di negara kecil ini. Mekanisme ini terbukti sukses diberlakukan di Singapura.