Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Prioritaskan Reformasi Ekonomi Sebelum Jalankan Hilirisasi: Hanya Untungkan Oligarki
Di Indonesia 1 persen pemilik tanah terbesar menguasai hampir 60 persen dari total tanah di Indonesia,
Editor: Choirul Arifin
Seorang tokoh yang sering membahas isu ini adalah Jeffrey Winters, yang dalam bukunya Oligarchy (2011) menjelaskan bahwa Indonesia merupakan salah satu contoh paling menonjol tentang bagaimana kekuasaan oligarki memengaruhi kebijakan ekonomi.
"Kekayaan terkonsentrasi pada kelompok kecil, dan mereka memiliki akses untuk mengarahkan arah kebijakan negara," tulisnya.
Dominasi oligarki ini menyebabkan distribusi kekayaan yang tidak adil, di mana sebagian besar rakyat Indonesia—terutama yang tinggal di pedesaan—tidak mendapatkan akses terhadap sumber daya yang sebenarnya bisa membantu mereka keluar dari kemiskinan.
Dari sisi agraria, situasi lebih parah. Berdasarkan laporan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) pada 2023, disebutkan bahwa 1% pemilik tanah terbesar menguasai hampir 60?ri total tanah di Indonesia, sementara petani kecil dan masyarakat adat terus terdesak dan kehilangan akses terhadap tanah mereka.
Baca juga: Pengarahan Prabowo di Akademi Militer, Bima Arya: Lanjutkan Hilirisasi dan Jangan Mau Didikte Asing
Keadaan ini memunculkan paradoks besar di Indonesia: negara yang kaya akan sumber daya alam, namun rakyatnya tetap hidup dalam kemiskinan relatif.
Tiongkok sering kali disebut sebagai contoh negara yang berhasil dalam melakukan reformasi ekonomi besar-besaran.
Ketika Deng Xiaoping memperkenalkan kebijakan Reform and Opening Up pada akhir 1970-an, Tiongkok berada dalam kondisi yang tidak jauh berbeda dari Indonesia saat ini: negara yang kaya sumber daya alam, tetapi terjebak dalam ketimpangan dan stagnasi ekonomi.
Namun, perbedaan mencolok terlihat pada strategi yang diambil kedua negara.
Deng Xiaoping dengan cerdik mengabaikan ideologi yang terlalu kaku, fokus pada pragmatisme, dan membuka pintu bagi investasi asing dengan kebijakan yang terarah.
Dalam ungkapannya yang terkenal, "It doesn’t matter whether the cat is black or white, as long as it catches mice," Deng menunjukkan bahwa tujuan akhir pembangunan adalah kesejahteraan rakyat, terlepas dari ideologi ekonomi yang dianut.
Tiongkok kemudian mulai membangun industri manufaktur yang kuat, melakukan investasi besar-besaran dalam infrastruktur, dan yang lebih penting, meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui reformasi pendidikan dan urbanisasi.
Langkah-langkah ini membawa Tiongkok menjadi raksasa ekonomi dunia.
Antara 1980 dan 2019, Tiongkok berhasil mengangkat lebih dari 800 juta penduduknya keluar dari kemiskinan absolut—sebuah pencapaian yang sangat mengesankan dalam sejarah modern.
Bandingkan ini dengan Indonesia, di mana kebijakan reformasi ekonomi terkesan berjalan di tempat. Indonesia masih terlalu bergantung pada ekspor bahan mentah, tanpa memiliki industri pengolahan yang signifikan.