Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Mewujudkan Persaingan Usaha Sehat di Sektor Otomotif Melalui Penerapan UU Nomor 5 Tahun 1999
Industri otomotif di Indonesia tergolong stagnan. Daya tarik pasar domestik tak lantas membuat Indonesia jadi pemain utama dalam persaingan global.
Editor: Willem Jonata
Hal inilah patut memperoleh perhatian dari pemerintah, stakeholder terkait, dan pemilik merek maupun dealer.
Posisi dominan prinsipal mampu mendikte seluruh sub-kontrak dalam market domestiknya. Kekuatan ini dilakukan melalui perjanjian antara prinsipal dengan para dealer.
Meskipun dikenal sebagai hal yang mungkin terjadi, tetapi kebijakan eksklusif berpotensi menyebabkan distrosi pasar. Terutama jika prinsipal membatasi ruang gerak investor melalui perjanjian sepihak.
Potensi Pelanggaran
Perilaku-perilaku ini berpotensi melanggar norma persaingan usaha sehat. Melalui perjanjian dimungkinkan terjadi pembatasan oleh prinsipal terhadap mitra-mitranya.
Posisi dominan prinsipal memiliki potensi untuk melakukan praktik abuse.
Kepentingan melawan persaingan dengan kompetitornya melalui pembatasan produk pesaing dapat diwujudkan melalui para mitra-mitra sub, salah satunya dealer, unit bisnis independen yang menjadi salah satu faktor kunci mewujudkan pasar yang kompetitif.
Potensi lain yang membuat industri ini tidak kompetitif adalah perilaku membatasi lewat perjanjian eksklusif (perjanjian tertutup) yang seharusnya melindungi aspek kekayaan intangible prinsipal seperti merek, lisensi, copyright, serta rahasia bisnis agar tidak disalahgunakan.
Namun, perjanjian eksklusif tidaklah tepat jika dilakukan untuk merampas kebebasan berkehendak para dealer dalam mengembangkan bisnis.
Larangan kebebasan juga terwujud dalam larangan bagi investor dealer untuk mendirikan badan usaha baru terkait dengan pesaing prinsipal.
Ini membuat dealer yang memiliki kebutuhan kepada prinsipal terpaksa menandatangani perjanjian yang memberatkan dan merugikan.
Cara-cara menghambat prinsipal merek tertentu lewat pengikatan para dealer secara eksklusif, membuat persaingan tidak sehat dan menutup peluang usaha investor dealer yang ingin mendirikan badan usaha baru dengan menjual merek yang berbeda.
Larangan terkait perjanjian tertutup diatur dalam Pasal 15 UU No. 5/1999, yang memastikan bahwa masih ada kebebasan berkehendak bagi para pihak yang mengikatkan diri.
Antar pihak yang mengikatkan diri masih diberi ruang memutuskan kepada siapa barang akan dipasok kembali.