Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Tidak Cukup Hanya Seruan Toleransi dan Moderasi Beragama
Marginalisasi kelompok agama minoritas dan penghayat kepercayaan adalah warisan sejarah sejak awal berdirinya republik ini
Editor: Eko Sutriyanto
Wacana untuk kembali ke Piagam Jakarta terus muncul dari masa Orde Lama hingga Reformasi. Kesepakatan 18 Agustus 1945 yang melahirkan UUD 1945 sebagai kontrak sosial bangsa ini menyisakan “duri dalam daging” yang masih terasa hingga kini.
Ironi UU PNPS dan SKB2M Nomor 9/8 Tahun 2006
Hubungan antarumat beragama kemudian diatur dalam UU No. 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Namun, beleid ini mengandung ironi.
Pasal 29 UUD 1945 (sebelum amandemen) menjamin kebebasan memeluk agama, tetapi UU No. 1/1965 justru mendiskriminasi penghayat kepercayaan.
Dalam penjelasan Pasal (1), aliran kebatinan disebut “harus diarahkan ke pandangan yang sehat”. Seolah-olah aliran kebatinan atau penghayat kepercayaan belum sehat sehingga harus diarahkan agar sesuai dengan pandangan agama-agama yang diakui.
UU PNPS ini menjadi senjata kelompok intoleran untuk mempersekusi penghayat kepercayaan. Mereka kerap dituduh sesat atau menyembah berhala.
Diskriminasi ini muncul dari hegemoni definisi agama yang dilakukan para ahli. Maarif (2017) menjelaskan, di Barat, agama didefinisikan berdasarkan prototipe Kristen. Sedangkan di Indonesia, definisi agama mengacu pada prototipe Islam.
Akibatnya, UU No. 1/1965 PNPS hanya mengakui agama yang monoteistis, bersifat transnasional, memiliki nabi, dan kitab suci. Kepercayaan lokal suku-suku asli Indonesia tidak memenuhi kriteria ini, sehingga tidak diakui sebagai agama.
Lahirnya Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 (populer dengan SKB2M) semakin melegitimasi intoleransi terhadap minoritas.
Aturan ini sering dijadikan dasar untuk menolak pendirian rumah ibadah atau membubarkan acara keagamaan dengan alasan tidak memiliki izin sebagai rumah ibadah.
Persyaratan minimal 90 KTP pengguna rumah ibadah dan sebanyak 60 dukungan masyarakat sekitar sering menjadi hambatan. Padahal, bagaimana rumah ibadah bisa berdiri jika persetujuan masyarakat tidak pernah diberikan?
Dibutuhkan Langkah Nyata
Selama menjabat, pemerintahan Presiden Joko Widodo gencar mengkampanyekan toleransi dan moderasi beragama.
Program penguatan moderasi beragama Jokowi ini dituangkan dalam Perpres Nomor 58 Tahun 2023 tentang Penguatan Moderasi Beragama yang ditandatangani 25 September 2023.
