Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Tidak Cukup Hanya Seruan Toleransi dan Moderasi Beragama
Marginalisasi kelompok agama minoritas dan penghayat kepercayaan adalah warisan sejarah sejak awal berdirinya republik ini
Editor: Eko Sutriyanto
Dalam salah satu pidatonya, Jokowi pernah menekankan bahwa kebebasan beragama dijamin konstitusi dan intoleransi tidak boleh dibiarkan.
Namun, pidato tersebut hanya menjadi retorika kosong. Hingga akhir masa jabatannya, Jokowi tidak mencabut SKB2M No. 9/8 Tahun 2006 dan UU No. 1/1965 PNPS. Padahal, kedua beleid inilah yang kerap menjadi dasar aksi intoleransi.
Intoleransi adalah pelanggaran terhadap konstitusi. Pasal 28E dan Pasal 29 ayat 2 UUD 1945 (setelah amandemen) menjamin kemerdekaan beragama dan berkeyakinan. Seruan toleransi dan moderasi saja tidak cukup.
Yang diperlukan adalah langkah nyata untuk membuka ruang kebebasan beragama.
Revisi terhadap SKB2M menjadi keharusan. Pasal-pasal yang mensyaratkan jumlah KTP dan dukungan masyarakat harus dihapus, terutama terutama Pasal 14 ayat 2a tentang syarat jumlah minimum 90 KTP pengguna rumah ibadat, ayat 2b tentang dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 orang.
Demikian juga dengan Pasal 14 ayat 2d tentang rekomendasi tertulis FKUB kabupaten/kota, sebaiknya ditiadakan saja.
Selain itu, pemerintah daerah harus mematuhi Pasal 14 ayat 3 SKB2M, yang mewajibkan mereka memfasilitasi pembangunan rumah ibadah jika syarat minimal pengguna terpenuhi tetapi syarat Pasal 14 ayat 2(b) belum terpenuhi.
Tugas Negara Melindungi
Sudah 79 tahun Indonesia merdeka, tetapi persoalan kebebasan beragama belum terselesaikan.
Pembukaan UUD NRI 1945 menegaskan bahwa negara bertugas melindungi seluruh bangsa Indonesia. Maka, pemerintah pusat dan daerah harus bertanggung jawab mencegah aksi intoleransi untuk melindungi warga negaranya melaksanakan ibadah.
Membiarkan diskriminasi dan intoleransi berarti pemerintah gagal menjalankan tugas konstitusionalnya.
Jika ini terus dibiarkan, maka proklamasi kemerdekaan yang dibacakan Soekarno yang dimulai dengan kalimat “kami rakyat Indonesia” bukanlah proklamasi untuk seluruh rakyat Indonesia, melainkan hanya untuk “sekelompok rakyat intoleran di Indonesia”.