Ungkapan Hati Joanna Giannouli, Wanita yang Lahir Tanpa Vagina dan Rahim
Lewat surat terbuka, Joanna mencurahkan isi hati tentang bagaimana hidup dengan sebuah sindrom yang menimpa sekitar satu dari 5.000 perempuan.
Editor: Mohamad Yoenus
Saya berjuang keras melawan depresi, kecemasan, dan serangan panik.
Ini memberikan saya pelajaran berharga.
Meskipun saya tidak percaya kepada Tuhan, saya percaya bahwa ini adalah peringatan penting bahwa jangan menganggap hidup kita pasti dengan sendirinya baik-baik saja.
Saya sudah terlahir kembali. Hal ini telah memberikan saya hidup yang baru, jati diri yang baru. Ini juga telah mengubah jalan hidup saya.
Sebelumnya, saya adalah remaja yang tipikal dengan segala pasang surutnya.
Setelah itu, saya menjadi benar-benar dewasa. Saya menjadi dewasa dengan cepat. Saya bersyukur akan hal itu.
Apa Adanya
Semua ini membentuk pribadi saya. Saya hidup setiap hari seperti apa adanya hari itu.
Saya tidak membuat rencana untuk masa depan karena saya tidak tahu apakah saya masih akan hidup.
Tidak banyak orang tahu hal itu. Saya bermaksud merahasiakannya dan ibu saya hanya memberi tahu sanak saudara.
Mengalami hal itu sungguh tak enak karena orang jadi mengasihani kita. Saya tidak ingin orang merasa kasihan kepada saya.
Saya tidak sedang sekarat dan saya tidak dalam bahaya.
Namun, orang-orang menunjukkan paras kasihan. Itu justru membuat saya merasa lebih sedih tentang keadaan diri saya.
Saya tidak bisa membicarakan hal itu karena di Athena, Yunani umumnya, orang-orang cenderung berpikiran tertutup.
Kadang-kadang saya merasa seperti hidup di abad pertengahan.
Di Yunani, saya juga tidak bisa menemukan kelompok pendukung yang diperlukan.
Saya tidak bisa menemukan orang untuk membicarakan hal itu.
Padahal, saya membutuhkan orang lain untuk berbicara tentang hal ini!
Ini sungguh persoalan besar dan kebanyakan perempuan dengan kondisi seperti ini merasa malu, sungguh.
Saya sudah bertemu beberapa perempuan yang bersedia untuk berbincang hal ini, tetapi setelah beberapa saat mereka menghilang karena merasa malu.
Saya juga ingin menjadi seorang ibu dengan satu dan lain cara. Baik itu menjadi seorang ibu biologis, ibu pengganti, atau ibu angkat.
Seorang ibu bukan sekadar menjadi perempuan yang melahirkan, melainkan juga yang merawat seorang anak.
Pada tahap hidup saya yang ini sekarang ini, saya belum berpikir tentang hal itu, tetapi mungkin di masa depan saya akan mempunyai anak.
Saya suka anak-anak. Kita lihat saja nanti.
Berbicara seperti ini sungguh membebaskan, memberi rasa terbebas.
Saya ingin mendukung setiap wanita yang memiliki kondisi seperti ini karena saya telah melewati "neraka" ini dan saya tahu masalah apa lagi yang bisa diakibatkannya.
Banyak perempuan bunuh diri karena sindrom ini. Memang hal ini bisa membuat kita benar-benar tertekan.
Saya menemukan kekuatan dan keberanian karena saya ingin membantu perempuan lain yang menderita hal yang sama.
Sebab, jika bukan kita yang saling membantu, siapa yang akan membantu kita?
Membicarakan hal ini sungguh memberi saya kekuatan. (Intisari/Kompas.com)