Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Cerita di Balik Kekokohan Masjid Tegalsari yang Berdiri Sejak 1929

Masjid Tegalsari yang terletak di Jalan Dr Wahidin, Bumi, Laweyan masih berdiri kokoh dan tak pernah direnovasi sejak 1929.

Editor: Willem Jonata

Laporan Wartawan TribunSolo.com, Eka Fitriani

TRIBUNNEWS.COM, SOLO – Masjid Tegalsari yang terletak di Jalan Dr Wahidin, Bumi, Laweyan, Solo, masih berdiri kokoh. Bangunannya tak mengalami perubahan.

Padahal, masjid ini tidak pernah direnovasi sejak dibangun pada tahun 1928 dan diresmikan pada tahun 1929.

Sakur, ta’mir masjid mengatakan, kekokohan bangunan tidak lepas dari prinsip-prinsip yang dianut oleh pendirinya.

Pendiri Masjid ini bernama KH Ahmad Shofawi. Ia menganut kesucian dalam pembangunan masjid dengan cara tidak mencari dana keluar masjid.

Masjid ini dibangun dengan bahan batu bata. Namun, proses pembuatan batu bata untuk membangun masjid berbeda daripada umumnya di masa itu. Sebab, tidak menggunakan kotoran sapi sehingga terjaga kesuciannya.

Tukang bangunan yang ikut membangun masjid juga harus dalam keadaan suci. Mereka berwudhu terlebih dulu sebelum bekerja.

Berita Rekomendasi

“Zaman dulu, pekerja bangunannya harus muslim dan harus bersih. Jika dia buang air kecil dan sebagainya maka harus berwudhu baru bisa melanjutkan membangun masjid,” terangnya.

Masjid ini memiliki luas bangunan luas 357 meter persegi. Panjangnya 21 meter dan lebar 17 meter. Letaknya di Tegalsari yang mempunyai arti kebun yang indah.

Terdapat empat pilar di ruangan utama masjid yang terbuat dari kayu jati. Keseluruhan kayu di masjid ini adalah jati. Kecuali bedug yang terbuat dari kayu pohon nangka.

Bangunan ini berarsitektur kerajaan Islam Jawa dengan model Walisongo dan Masjid Demak.

Bangunan masjid ini sama dengan masjid-masjid kuno lain. Terdiri dari bagian atau ruang utama, serambi kanan dan serambi kiri yang disebut pawasren (pawasren dari kata istri/wanita).

Pawasren masjid Tegalsari berada di serambi kanan. Hal ini dimaksudkan bahwa pria dan wanita sama di mata Allah SWT.

“Kebanyakan masjid itu shaf jamaah perempuan di belakang pria, di Masjid ini tidak. Sebab, wanita dan laki-laki sama di mata Allah SWT. Makanya, pendiri masjid ini membuat shaf wanita di sebelah kanan,” kata Sakur.

Adanya Istiwa’ atau jam matahari yang berada di sebelah kiri bangunan menjadi keunikan masjid. Jam matahari ini masih berfungsi hingga sekarang.(*)

Sumber: TribunSolo.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas