News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Rupiah Terpuruk

Birokrat Ikut Bermain Dollar

Penulis: Hasanudin Aco
Editor: Sanusi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Harry Azhar Azis

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua Komisi XI (Komisi Keuangan) DPR RI Harry Azhar Azis, menilai ada sejumlah penyebab utama nilai tukar rupiah terus melemah terhadap dollar AS. Dia meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) turun tangan menangani masalah tersebut.

Harry mengatakan kecenderungan orang-orang kaya atau pengusaha tertentu menyimpan dan terus membeli dolar AS karena ekspektasi atas rupiah yang terus melemah.

"Bisa juga dari birokrat yang menyimpan dolar AS untuk dana operasionalnya seperti yang terjadi di Kementerian ESDM, artinya birokrat pun ternyata bermain dollar AS sehingga rupiah semakin menurun terus/terdepriasi," kata Harry ketika dikonfirmasi TRIBUNnews.com, Selasa (20/8).

Solusinya, Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) harus makin difungsikan. FKSSK yang terdiri dari Menkeu, Gubernur Bank Indonesia, Ketua Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Ketua Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) harus segera merumuskan langkah koordinasi yang tidak bisa hal ini dibiarkan berlarut-larut.

"Sebaiknya FKSSK mengundang juga asosiasi. Pengusaha seperti Kadin Indonesia dan Apindo sehingga 3 pilar utama, moneter, fiskal dan sektor terjadi pemahaman dan persepsi yang sama atas langkah yang perlu diambil," kata Harry.

Dikatakan pelemahan nilai tukar jangan dibiarkan ini berlarut-larut dan bila perlu Presiden SBY segera turun tangan untuk mendorong koordinasi yang baik diantara regulator dan pelaku ekonomi utama di Indonesia.

Anggota Komisi XI DPR RI Arif Budimanta mengatakan, rupiah berpotensi terus bergerak liar dimana akan terus terjadi pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. "Karena market tidak melihat ada kebijakan yang sinergis dan komprehensif antara kebijakan fiskal dan moneter," kata Arif Budimanta.

Dalam konteks ini, Arif mengatakan ke depan, beban BI akan menumpuk. Ini terlihat dari cadangan devisa yang semakin tergerus apabila pengendalian nilai tukar hanya diandalkan kepada BI semata.

Defisit neraca perdagangan Indonesia yang melebar mencapai 4,4 persen terhadap GDP pada kuartal II (Q1: 2,4 persen), adalah terbesar dalam sejarah.

"Defisit perdagangan berlangsung karena fokus usaha pemerintah untuk supporting dengan fiskal terhadap industri bahan baku/hulu masih belum menarik, serta perlakuan terhadap eksportir belum memberikan gairah/untuk menguber devisa ekspor," kata Arif.

Dijelaskan pelemahan mata uang rupiah adalah yang terdalam dibandingkan mata uang lain dalam kawasan regional Asean.

"Pelemahan ini akan terus bergerak apabila tidak ada perbaikan salah satunya terhadap neraca perdagangan, pelemahan nilai komoditas dan ekspor, dan meningkatnya impor dari waktu ke waktu adalah data riil yang menggambarkan bahwa pemerintah gagal dalam menggenjot produktivitas nasional untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri," kata Arif.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini