News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

RUU Pertanahan Dinilai Tak Sistematis

Editor: Sanusi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Puluhan perwakilan suku Anak Dalam, Jambi, menginap di halaman Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (14/12/2011). Mereka meginap untuk menuntut pengembalian tanah adat mereka yang telah dikuasai pihak swasta atas campur tangan pemerintah daerah. (TRIBUNNEWS/DANY PERMANA)

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dosen Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta, DR V Hari Supriyanto, SH, M.Hum menilai RUU Pertanahan yang kini tengah digodok DPR RI harus diperbaiki, karena tidak sistematis dan substansinya banyak yang tidak jelas.

"Pembahasan RUU Pertanahan ini memang harus hati-hati, baik dari sisi sistematika dan substansi itu memang banyak hal yang harus diganti, karena kelihatan tidak sistematis dan arahnya tidak jelas," kata Hari, Sabtu (17/5/2014).

Tidak sistematis dan tujuannya tidak jelas, misalnya, RUU ini akan mengatur tentang Pengadilan Pertanahan yang lokasinya hanya terletak di ibukota provinsi. Padahal, selama ini perkara pertanahan selalu mendominasi perkara di pengadilan negeri.

"Sekarang ada di pengadilan negeri, nah kalau besok dipusatkan di ibukota provinsi, bisa kewalahan itu, akan menumpuk, belum lagi hambatan wilayah," tutur Hari.

Menurutnya, pemerintah dan DPR jangan mengira wilayah Indonesia hanya seperti Jakarta dan Yogyakarta, sehingga orang Jakarta Selatan bisa mencapai Jakarta Pusat dalam waktu yang relatif tidak terlalu lama, tapi harus melihat daerah dan georafisnya.

"Kalau misalanya di Jawa Tengah, orang Purbalingga ke Semarang, kan jauh sekali, apalagi Papua dan wilayah lainnya," ujar Hari.

Karena banyak hal yang harus diperbaiki, Hari meminta pemerintah dan DPR tidak tergesa-gesa mengesahkan RUU ini. "Konsep-konsep dasarnya juga tidak konsisten ya, misalnya bicara hak menguasai negara, soal hak masyarakat hukum adat, hak ulayat, kedudukan hukum adat sebagai sumber hukum. Dalam hukum agraria ini mestinya diturunkan, diikuti secara konsisten UU Pertanahan," tuturnya.

Kemudian kekeliruan lainnya RUU ini, imbuh Hari, yakni soal memandang negara, terjadi kekeliruan pola pandang daerah dan pusat terhadap hukum adat. "Misalnya masyarakat hukum adat ini dikasih soal pengakuannya diserahkan ke pemerintah pusat atau pemda, pemerintah pusat dan pemda itu tidak punya posisi untuk mengatur hukum adat, karena masyarakat hukum adat itu hak konstitusional sesuai UUD, sehingga banyak tumpang tindih," ujarnya.

Untuk itu, kata Hari, ia melengkapi hal-hal yang selama ini belum mengemuka dalam RUU Pertanahan untuk memberikan masukan agar pemerintah dan DPR bisa menghasilkan UU yang mengakomodir semua elemen dalam mengatur pertanahan.

Selain memberikan masukan, seminar tersebut juga meningkatkan pengetahuan, khususnya tentang RUU Pertanahan baik bagi dosen, mahasiswa, dan masyarakat, terlebih menghadirkan narasumber kredibel dari berbagai elemen, yakni advokat, Notaris atau praktisi pertanahan, LSM, akademisi, dan pengusaha real estate.

Hari mengatakan, RUU pertanahan harus mewujudkan falsafah Pancasila, yakni bumi, air dan sumber daya alam di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.

Menurutnya, negara hanya menguasai, bukan memiliki. Namun kesannya negara memanfaatkan wewenang memiliki tanah dan mnangabaikan kewajiban mengelola tanah. Kunci reforma agraria adalah keadilan menyejahterakan dan pembahasan RUU Pertanahan sebaiknya tidak tergesa-gesa, sehingga apabila nanti RUU ini menjadi UU, akan dapat berguna bagi semua pihak.

Sementara itu Andreas Budi Susetyo, dari REI DIY, berharap agar RUU tidak merampas hak rakyat. Di DIY, ada peraturan yang rumit untuk masyarakat keturunan tertentu yang mengakibatkan kerugian waktu dan uang. Saat terjadi jual beli tanah yang dibeli warga keturunan.

Semua ini terjadi karena adanya SK tahun 1975 yang sudah tidak sesuai dengan alam demokrasi saat ini. Dalam pelaksanaannya, diskriminasi rasial terjadi bagi ras tionghoa. SK ini harus dicabut karena melanggar HAM.

Menurut Agung Iip, notaris PPAT lulusan Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta, saat ini permasalahan yang terjadi adalah tumpang tindih peraturan kebijakan pertanahan. Adanya ketimpangan penguasaan tanah dalam wujud kemiskinan struktural.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini