TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Isu ketahanan energi ini menjadi permasalahan yang rentan untuk dibahas para calon presiden. Namun, yang penting bahwa pengurangan subsidi BBM ini harus diimbangi juga dengan perluasan lapangan kerja.
Langkah serupa diusulkan oleh Kresnayana Yahya, pemberhati masalah ekonomi dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya. “Seharusnya ada insetif sebesar 10 persen untuk energi terbarukan,” ujar Yahya, Minggu (8/6/2014).
Dia mencontohkan adanya campuran biodiesel terhadap BBM fosil yang dilakukan secara bertahap. Saat ini baru 10 persen dan akan meningkat 15 persen pada 2016. Proses ini memang terlalu lama. “Harusnya saat 2016 nanti, sudah mencapai 40 persen mengingat pasokan bahan bakar nabatinya sangat melimpah,” ujarnya.
Kemudian Kresna menunjuk perkebunan kelapa sawit di Indonesia yang begitu luas. Salah satu bentuk insentifnya berupa pembebasan pembayaran PBB selama dua tahun, asalkan pengusaha kelapa sawit bersedia menyetor 30 persen dari hasil produksinya kepada pemerintah untuk dipakai sebagai bahan bakar nabati (biodiesel).
“Jika ini diterapkan secara sungguh-sungguh, saya yakin harga keekonomisan BBM bisa tercapai lebih cepat tanpa aksi protes berlebihan dari masyarakat,” ujarnya.
Namun, di mata Kodrat Wibowo, pengamat ekonomi asal Universitas Padjajaran, belum melihat adanya keseriusan pemerintah, termasuk konversi ke biodiesel. Meski sempat diperintahkan presiden melalui sebuah Kepres pada 2010 lalu, namun perintah itu tidak disertai dengan langkah-langkah konkrit untuk mendukung biodiesel tersebut.
“Tidak ada kebijakan pemerintah terkait penanaman pohon jarak secara besar-besaran. Tidak ada juga upaya pemerintah menyiapkan infrastrukturnya berupa pabrik dan lainnya,” ujarnya.