TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Dewan Pertimbangan (Wantim) Majelis Ulama Indonesia (MUI), Din Syamsuddin mengatakan dalam kasus perpanjangan kontrak karya PT Freeport Indonesia (PTFI) adalah sikap dari pemerintah.
Ia menilai negara seharusnya meminta lebih banyak dari Freeport yang sudah puluhan tahun mengeksploitasi tanah Papua itu.
Hal itu tentunya sesuai dengan pasal 33 Undang Undang Daaar (UUD) 1945, yang mengatur soal Sumber Daya Alam.
"Pemerintah harus konsisten, konsekuen. Bahwa sumber daya alam dikuasai negara, dan digunakan bagi kemakmuran rakyat," ujarnya, Kamis(26/11/2015).
Din menyadari bahwa tidak mungkin aset perusahaan asal Amerika Serikat itu dinasionalisasi.
Namun demikian pemerintah bisa meminta jatah lebih dari keuntungan Freeport. Selain itu pemerintah juga bisa mendorong lebih banyak anak bangsa untuk berperan di perusahaan tersebut.
Freeport sudah sekitar 48 tahun mengeruk kekayaan alam tanah Papua, dan telah dinobatkan sebagai perusahaan tambang emas terbesar didunia. Ironisnya, negara hanya menerima jatah 1 persen pertahunnya.
Selain itu permintaan negara untuk Freeport membangun smelter atau fasilitas peleburan konsentrat di tanah Papua, hingga kini belum kunjung dipenuhi.
Menurut Din, semangat serupa juga bisa diterapkan terhadap perusahaan-perusahaan asing lain, yang mengeruk kekayaan bumi pertiwi.
Mantan ketua PP Muhammadiyah itu menilai, saat ini sudah saatnya negara menerima lebih banyak.
"Kita harus mereview (kaji ulang) ulang kontrak karya, dalam bidang minyal gas, termasuk minerba. Itu lah jihad konstitusi," ujarnya.