TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Umum Pimpinan Pusat GP Ansor, Yaqut Cholil Qoumas menilai perundingan pemerintah dengan PT Freeport Indonesia tidak ada manfaatnya jika ada tekanan melalui aksi massa.
"Tidak ada manfaatnya melanjutkan perundingan karena mereka melakukan penekanan melalui aksi massa," tutur Yaqut yang juga Anggota Komisi VI DPR RI tersebut dalam keterangan yang diterima, Rabu (8/3/2017).
Ia juga minta pemerintah menghentikan perundingan dengan PT Freeport Indonesia jika berbagai aksi unjuk rasa kepada Kementerian ESDM tetap dilakukan.
"Kalau demo-demo jalanan terkait Freeport ditumpangi kepentingan perusahaan raksasa itu, GP Ansor mendesak kepada pemerintah untuk menghentikan perundingan," kata Yaqut Cholil Qoumas,
Unjuk rasa peduli Freeport tersebut menuntut agar pemerintah tidak memaksakan perubahan Kontrak Karya (KK) Freeport ke Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
Padahal, kata dia, sesuai amanat konstitusi, dalam hal ini PP No. 1 Tahun 2017 yang merujuk pada Pasal 169 dan Pasal 170 jo. Pasal 103 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), kewajiban perusahaan pertambangan pemegang kontrak karya yang sudah berproduksi untuk melakukan pemurnian selambat-lambatnya lima tahun sejak UU Minerba tersebut diundangkan, atau selambat-lambatnya tanggal 12 Januari 2014 sudah tepat.
GP Ansor meminta Pemerintah untuk tetap menjalankan amanat konstitusi dan tidak mudah tunduk pada desakan apa pun.
Selain itu, GP Ansor menilai bahwa eksplorasi yang dilakukan Freeport selama puluhan tahun tidak sebanding dengan apa yang diberikan Freeport, baik untuk rakyat Papua maupun Pemerintah Indonesia.
"Agak aneh ada gerakan peduli Freeport. Bukannya lebih pantas jika ada yang peduli Papua akibat eksplorasi tambang Freeport? Kerusakan alam Papua itu tidak sebanding dengan apa yang diberikan Freeport," jelas Yaqut.