Keputusan pemerintah untuk mengimpor garam dari Australia dipandang kalangan industri sebagai sesuatu yang wajar lantaran adanya ketimpangan antara produksi dan konsumsi garam nasional.
Sekjen Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia, Cucu Sutara, mengatakan produksi garam nasional pada 2016 hanya mencapai 144.000 ton dari kebutuhan sebanyak 4,1 juta ton. Adapun dari kebutuhan 4,1 juta ton, 780.000 ton untuk konsumsi publik, sedangkan sisanya untuk keperluan industri.
Jika cuaca mendukung, produksi garam Indonesia bisa mencapai 1,9 juta ton per tahun.
Apa penyebab produksi garam nasional minim?
Faktor cuaca adalah penyebab utama produksi garam nasional begitu minim selama setahun terakhir, menurut Sekjen Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia, Cucu Sutara.
"Hujan terus-menerus karena La Nina menghambat produksi," ujar Cucu.
Selain cuaca, hal lainnya yang membuat jumlah produksi garam di Indonesia relatif sedikit ialah proses pembuatan garam secara tradisional.
"Kita masih mengandalkan matahari dan masih memakai alat sederhana, yaitu pengeruk kayu dan kincir angin. Jangankan bicara kualitas, bicara peningkatan kapasitas juga sulit," tambahnya.
Dia mencontohkan bahwa satu hektare tambak hanya bisa menghasilkan 70 ton garam. "Itu pun dengan cuaca bagus, apalagi sekarang cuacanya tidak bagus."
Bukankah Indonesia negara maritim sehingga garam berlimpah?
Indonesia memang merupakan negara dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia dengan panjang 99.093 kilometer. Faktanya, hanya segelintir di antara puluhan ribu kilometer pantai itu yang bisa dijadikan lokasi tambak garam.
"Lahan yang cocok dijadikan lokasi tambak garam hanya 26.024 hektare. Bahwa Indonesia adalah salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di dunia sehingga produksi garamnya berlimpah, itu mitos," kata Sekjen Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia, Cucu Sutara.
Dia menambahkan, lokasi tambak garam sangat dipengaruhi sejumlah faktor, antara lain air laut dan tanah lokasi.
Bagaimana solusi ideal?
Pengamat dari lembaga Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudistira, mendorong pemerintah untuk berpihak kepada petambak garam. Menurutnya, impor tidak bisa terus dijadikan jalan pintas tanpa solusi jangka panjang.