News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Indonesia Negara Maritim Tetapi Mengapa Harus Mengimpor Garam?

Editor: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ani (50) pedagang kelontong melayani pembeli yang belanja garam gandu di Pasar Kosambi, Jalan Ahmad Yani, Kota Bandung, Rabu (26/7/2017). Saat ini stok garam di sejumlah pedagang kelontong di Pasar Kosambi sebagian besar habis karena pascalebaran sudah tidak ada lagi pasokan. Stok garam yang tersisa pun tinggal sedikit, itu pun hanya garam gandu yang dijual Rp 2.000 per batang. (TRIBUN JABAR/GANI KURNIAWAN)

Dia mengakui pemerintah memiliki Pugar, program untuk garam rakyat.

"Sangat disayangkan bahwa, dari jumlah peningkatan produksi, Pugar ini hanya mencapai target sebesar 50%. Realisasi bantuan kepada petambak garam juga tidak pernah mencapai 100%. Lalu tidak ada bantuan teknologi," katanya.

Bhima menyoroti rantai penyediaan garam begitu panjang sehingga petambak garam tidak pernah merasakan keuntungan besar ketika harga garam naik.

Dia lalu merujuk data KIARA (koalisi rakyat untuk keadilan perikanan) dalam lima tahun terakhir.

Data itu menyebutkan jumlah petani tambak garam di Indonesia menurun drastis, yakni dari 30.668 jiwa pada tahun 2012 menjadi 21.050 jiwa di 2016. Artinya, ada sekitar 8.400 petani garam yang alih profesi.

Sebagian besar menjadi buruh kasar atau pekerjaan informal lainnya dan berkontribusi terhadap fenomena migrasi kemiskinan dari desa ke kota.

"Dari perspektif industri, lebih baik impor garam karena rantai pasokannya ringkas. Kalau membeli produk garam lokal, ada tujuh mata rantai dan tiap mata rantai ada biayanya sehingga ketika sampai ke level konsumen jadi lebih mahal," katanya.

Karena itu, menurut Bhima, pemerintah harus punya skema yang jelas agar swasembada garam dapat terwujud.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini