KALAU berbicara tentang keamanan, lebih baik jangan sebut Jakarta. Kejahatan di kota ini makin merajalela dan sudah menjadi perbincangan internasional.
Tahun lalu, survei oleh Economist Intelligence Unit (EIU) bahkan menempatkan Jakarta sebagai kota paling berbahaya di Asia.
Fakta ini seiring dengan kenyataan hidup yang makin pahit di ibukota Indonesia ini.
Orang miskin harus siap lebih menderita.
Kalau miskin jangan tinggal di Jakarta.
Anda akan makin menderita meski upah naik setiap tahun.
Di kota ini biaya hidup sering melejit lebih cepat ketimbang daya beli warganya.
Jadi jangan heran bila kaum miskin hidup dalam lingkaran setan penderitaan tiada berujung.
Tahun ini tampaknya mereka lebih menderita meski upah minimum provinsi (UMP) dipatok Rp 3.350.000 per bulan, naik dari Rp 3.100.000 dari tahun lalu.
Survei oleh Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPSI) dan Federasi Serikat Pekerja Logam Elektronik, dan Mesin (FSP LEM) menemukan bahwa kebutuhan hidup layak (KHL) di Jakarta adalah Rp 3.831.690.
Lebih memprihatinkan adalah kenyataan bahwa banyak pekerja di sektor formal juga dibayar di bawah UMP.
Lihat saja, banyak pelayan toko di pusat-pusat perbelanjaan mewah dibayar di bawah UMP. Penderitaan yang sama juga dialami oleh kebanyakan pekerja di perusahaan berskala kecil.
Hanya saja mereka-mereka memilih diam meski menderita karena takut kehilangan pekerjaan.
Bagi mereka yang bekerja di sektor informal alias kaki lima jelas lebih mengenaskan.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa dapat bayaran setengah dari UMP saja sudah beruntung. Runyamnya lagi, jumlah mereka makin banyak karena keterbatasan daya tampung sektor formal.