TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) Arif Budimanta menilai Bank Perkreditan Rakyat (BPR/BPR Syariah) kesulitan menggunakan teknologi Fintech.
“Tidak mudah bagi BPR dan BPRS untuk mendorong penerapan Fintech (Finansial technology). Perlu dorongan banyak pihak,” ujar Arif di semintar bertajuk "Strategi Peningkatan Daya Saing BPR-BPRS dalam Menghadapi Era Layanan Perbankan Digital", Rabu (20/9/2017).
Hingga saat ini, kata Arif, sejumlah tantangan yang masih menjadi kendala. Dalam hal ini BPR kesulitan modal, sumber daya manusia, serta masih lemahnya pemanfaatan teknologi informasi di lingkungan BPR/BPRS.
"Menurut saya ini hambatan serius yang perlu dipikirkan jalan keluarnya,” ungkap Arif.
Di lain pihak, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mewajibkan BPR/BPRS untuk menyelenggarakan teknologi informasi dalam memberikan pelayanan kepada nasabah.
Hal ini tertuang dalam Peraturan OJK Nomor 75/POJK.03/2016 tentang Standar Penyelenggaraan Teknologi Informasi Bagi Bank Perkreditan Rakyat dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.
Pasal 2 Ayat 1 peraturan tersebut menyebutkan BPR dan BPRS wajib menyelenggarakan teknologi informasi yang paling sedikit berupa aplikasi inti perbankan dan pusat data bagi BPR atau BPRS yang memiliki modal inti kurang dari Rp 50 miliar.
Selain itu, bagi yang memiliki modal inti sedikitnya Rp 50 miliar, menyelenggarakan aplikasi inti perbankan, pusat data dan pusat pemulihan bencana.
Untuk mengatasi keterbatasan tersebut, Arif mengusulkan agar Perbarindo dapat menjadi motor pemanfaatan Fintech oleh BPR/BPRS. Pengembangan teknologi jasa keuangan ini penting untuk meningkatkan daya saing di era layanan perbankan digital.
“Modelnya bisa seperti crowd funding,” katanya.
Sebagai solusi, paparnya, Perbarindo bertindak sebagai pelaksana pengembangan awal, mengingat biayanya cenderung mahal. Selanjutnya sistem yang telah dibuat dimanfaatkan oleh BPR/BPRS.
“Bisa juga melalui kerja sama dengan perusahaan Fintech. Hal ini bisa diorganisasi oleh Perbarindo,” ujarnya.