Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS ditutup menguat di perdagangan pasar spot Jumat kemarin.
Dolar AS bahkan sudah di bawah Rp 14.100. Kurs 1 dolar AS dihargai Rp 14.080 saat penutupan pasar spot.
"Dolar AS melemah karena kalangan forex traders mengantisipasi kemajuan negosiasi AS - China yang akan dilangsungkan antara dua negara pekan depan di Washington DC," kata Nanang.
"Dan ditengah penungguan pasar atas besaran dampak dari lumpuhnya sebagian layanan publik di AS (partial US Government Shutdown) terhadap pertumbuhan ekonomi AS," tambahnya.
Belum lagi, ditambah dengan proyeksi perekonomian global yang melambat tahun ini, arah kebijakan bank sentral AS (The Fed) pun dipastikan tidak akan menopang penguatan dolar.
Dinamika tersebut menjadi faktor pendrong yang menopang dana-dana portofolio global terus mengalir ke pasar negara berkembang, termasuk Indonesia di pasar saham maupun surat berharga negara (SBN).
"Sejak awal tahun hingga 21 Januari 2019, dana portfolio global yang masuk ke pasar SBN dan saham mencapai Rp 13,63 triliun," katanya.
Ada pula faktor selisih imbal hasil obligasi pemerintah dan US Treasury Bond AS yang saat ini mencapai 523 bps.
Nilai real dari imbal hasil obligasi saat ini juga mencapai 4,56 persen.
Secara year to date (rentang waktu satu tahun), rupiah menguat sekitar 1,5 persen karena penguatannya lebih bertahap.
Sentimen Eksternal
Direktur Garuda Berjangka, Ibrahim Assuaibi menjelaskan, penguatan rupiah pada pembukaan perdagangan pasar spot Jumat pagi akibat dua sentimen eksternal utama, yakni optimisme pertemuan AS dan China yang akan berlangsung akhir Januari dan keberlangsungan kebijakan Bank Sentral Amerika Serikat atau Federal Reserve untuk mempertahankan suku bunga pada pertemuan pekan depan.
"Investor juga masih menunggu keputusan keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit),” tutur Ibrahim.
Sementara dari dalam negeri, Bank Indonesia (BI) juga dinilai sudah mengambil langkah apik untuk menahan perlambatan ekonomi global dengan pemberlakukan sistem Operasi Pasar Terbuka (OPT).
"Operasi moneter ini merupakan kontraksi-ekspansi likuiditas yang mampu memberikan kepastian bagi pengelolaan likuiditas perbankan," tambah Ibrahim.
Baca: Takjubnya BTP Ketika Pertama Kali Melihat Indahnya Simpang Susun Semanggi
Dia juga berpendapat strategi BI memperdalam pasar Domestic Non Deliverable Forward (DNDF), berpotensi mampu mendorong korporasi dalam negeri untuk lebih aktif dan efektif.