TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Guru Besar Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin (Unhas), Prof Akbar Tahir mengatakan masalah sampah plastik yang kita hadapi saat ini merupakan kegagalan kita dalam mengelola sampah plastik tersebut.
Karena tidak ada yang salah dengan plastik. Plastik adalah anugerah bagi umat manusia. Namun bila salah kelola akan menjadi bencana.
“Jadi untuk mengendalikan plastik, bukan pelarangan atau penerapan cukai yang saat ini sedang direncanakan pemerintah. Pasalnya penerapan cukai kantong plastik akan menyebabkan, antara lain, tambahan pengeluaran bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Hal ini akan berimbas pada kemampuan atau daya beli kelompok masyarakat miskin yang jumlahnya masih sangat banyak di RI,” ungkap Prof Akbar di Jakarta, Selasa (9/7/2019).
Lebih lanjut Guru Besar Unhas ini mengungkap dengan pengenaan cukai 100 persen, harga kantong plastik akan meningkat 2 kali lipat.
Baca: Akademisi Menilai Pembangunan Kawasan Pantai Bersama Tak Ganggu Biota Laut
Dengan demikian akan terjadi penurunan penggunaan, yang sekaligus akan berdampak pada mata rantai produksi yang jelas akan merugikan industri plastik di Indonesia, dengan jumlah besar tenaga kerja yang terlibat.
“Perlu dipertimbangkan upaya lintas Kementerian/Lembaga untuk perbaikan sistem pengelolaan sampah guna meningkatkan penemuan kembali sampah plastik dari lingkungan (plastic waste recovery) yang masuk dalam mata rantai produksi sebagai bentuk nyata dukungan terhadap 'Circular Economy menuju RI yang lebih bersih dari sampah plastik,” kata Prof Akbar.
Menurutnya paling penting adalah kolaborasi antara para pihak dalam pelaksanaan plastic waste clean-up yang sebagian hasilnya harus masuk proses daur ulang.
Program penyadaran masyarakat tentang dampak sampah plastik harus secara terencana dilakukan, dan harus terus dilakukan dan bukan merupakan program jangka pendek dan terkesan pencitraan saja.
Di tempat yang sama, Anggota Apindo Rachmat Hidayat menilai pelarangan penggunaan plastik dan penerapan cukai plastik sangat tidak tepat sasaran karena akan merugikan masyarakat (konsumen).
Tidak hanya itu, pelarangan itu juga bisa menurunkan pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja, dan penerimaan negara.
“Plastik kemasan produk industri (makanan, minuman, farmasi, minyak, kimia, dan sebagainya) tidak dapat dipisahkan dari produk yang dikemas di dalamnya. Jadi melarang peredaran plastik kemasan produk berarti melarang peredaran produk yang dikemas dalam plastik kemasan tersebut,” kata Rachmat.
Padahal, menurut Rachmat, produk-produk tersebut sudah dikendalikan dan diawasi oleh kementerian/lembaga yang terkait sesuai dengan sektornya masing-masing.
Contohnya produk makanan dan minuman serta farmasi berada dibawah pengawasan BPOM dan Kementerian Kesehatan.
Sedangkan produk pestisida berada di bawah pengawasan Kementerian Pertanian serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Hal senada, Asosiasi Industri Olefin, Aromatik dan Plastik Indonesia (Inaplas) berharap pemerintah membatalkan rencana untuk mengenakan cukai plastik. Sebab, plastik dinilai bukan barang yang berbahaya sehingga perlu dibatasi konsumsinya.
Ketua Industri Olefin dan Polyolefin Inaplas, Edi Rivai mengatakan, meski telah menjadi sampah, plastik masih memiliki nilai jika dikelola dengan baik. Berbeda dengan alkohol dan rokok memiliki dampak negatif terhadap kesehatan.
"Ini bukan barang yang berbahaya, tidak beracun. Tetapi sampah plastik ini punya nilai, bisa jadi energi. Kalau alkohol, rokok kan itu jelas terkait sisi kesehatan. Kalau ini kan masalah pengelolaan, kenapa yang disalahkan material plastiknya. Pengelolaannya yang diperbaiki," ujar Edi.
Selain itu, lanjut Edi, pengenaan cukai pada plastik akan berdampak luas, bukan hanya terhadap industri tetapi juga masyarakat. Sebab plastik merupakan barang yang sehari-hari digunakan oleh masyarakat.
"Malah akan menjadi beban industri, beban masyarakat, akan naiknya inflasi. Kalau kita lihat lebih banyak jeleknya dari pada kebaikannya. Karena itu seharusnya pemerintah sudah berpikir selama 2-3 tahun ini, sudah bisa memahami itu, makanya mereka masih menunda," jelas dia.
Edi berharap pemerintah mengerti jika pengenaan cukai bukan solusi untuk mengurangi sampah plastik dan meningkatkan penerimaan negara.
Untuk mengendalikan sampah bisa dilakukan dengan konsep pengelolaan yang lebih baik dan memberikan nilai tambah.
"Kita tetap menolak wacana cukai plastik tersebut, karena cukai ini tidak menjadi solusi. Kita harapkan ke depan pemerintah lebih sadar bahwa sampah plastik itu adalah peluang, bukan seperti konsep cukai yang merusak lingkungan. Jadi cara berpikirnya baik dari masyarakat, pemerintah harus bergandengan tangan untuk menyelesaikan ini," tandas dia.