"Sebagian besar pinjaman mereka itu di bawah Rp 10 miliar, nah itu pasti akan terjadi masalah missmatch atau cashflow buat banknya sendiri. Nah bagi masyarakat sendiri tetap ada problem, karena dengan penundaan cicilan bunga juga tetap, jadi itu dihitung bunga setahun lagi ke depan. Dan justru beban dia akan naik," ujarnya.
Lebih lanjut dirinya mengungkapkan, jika relaksasi kredit atau penundaan cicilan diberlakukan kepada semua debitur, maka dampak ke perbankannya akan besar sekali terutama pada rasio kredit bermasalah (NPL).
Ia memperkirakan, NPL bank akan melonjak tinggi dari posisi sekarang ini yang berada pada kisaran 2,79% (gross) dan NPL net sebesar 1,00% per Februari 2020. Dengan kondisi demikian, tentu yang harus diperhatikan oleh regulator adalah dari sisi kesehatan perbankan itu sendiri.
"Di negara lain itu justru sektor keuangan yang paling dijaga jangan sampe jatuh karena kalo sektor keuangan itu jatuh dampaknya bisa kemana-manakan. Ini NPL saja sudah segini. Apalagi kalo diterapin kepada semua (debitur) itukan bisa tinggi NPL nya. Jadi pasti itu NPL nya akan naik luar biasa. Terus yang harus OJK pikirkan itu adalah indikator kesehatan bank sama GCG kan. Karena pasti indikatornya akan turun semua," paparnya.
Mantan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) yang juga sebagai Ekonom Senior Mirza Adityaswara pun berpendapat serupa, bahwa bila aturan itu diimplementasikan kepada seluruh debitur, maka akan merugikan dua sektor industri keuangan yakni perbankan dan perusahaan pembiayaan (multifinance).
Bahkan, kata dia, jika dua sektor ini "bangkrut" maka perekonomian nasional pun akan terganggu. "Perbankan harus tetap membayar bunga kepada penabung (deposan) tapi bank tidak menerima pendapatan dari debitur. Yang akan terjadi kerugian besar," ujar Mirza.
Mirza menilai, perbankan akan menanggung beban yang besar jika seluruh debitur menangguhkan cicilan utangnya selama satu tahun.
Terlebih sekitar 30% kredit perbankan merupakan kredit konsumsi layaknya KPR dan KPM.
Sementara sekitar 15% hingga 20% diantaranya ialah kredit UMKM. Dirinya bahkan mengumpamakan, perputaran kredit perbankan dan kredit perusahaan pembiayaan layaknya darah di tubuh manusia. Artinya, tanpa aliran kredit maka perekonomian akan berhenti dan tidak berjalan semestinya.
“Bahwa sekitar 30% kredit perbankan adalah kredit sektor konsumsi dan sekitar 15% sampai dengan 20% adalah kredit UMKM sehingga kita menghadapi risiko default yang disengaja untuk eksposur sampai 50% kredit nasional atau setara dengan Rp 2.500 triliun. Suatu jumlah yang pasti akan membangkrutkan ekonomi Indonesia,” tegasnya.
Berita ini tayang di Kontan dengan judul: Duh, relaksasi kredit bisa bikin bank rugi kalau tidak tepat sasaran