Laporan Wartawan Tribunnews.com, Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah kembali diingatkan untuk segera memenuhi hak konsumen para pengguna produk Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL).
Pasalnya, hingga kini pengguna produk HPTL belum juga mendapatkan haknya dalam memperoleh informasi yang akurat mengenai produk HPTL.
Pengguna HPTL di Indonesia, yang saat ini jumlahnya mencapai lebih dari dua juta orang, baru mendapatkan informasi yang komprehensif mengenai produk tersebut dari hasil kajian ilmiah yang dilakukan oleh lembaga-lembaga independen di luar negeri.
Sementara, di dalam negeri, hasil kajian ilmiah terhadap produk HPTL masih sangat terbatas, termasuk kajian yang diinisiasi oleh pemerintah.
Baca juga: Respon Serikat Pekerja Rokok Tembakau Soal Wacana Revisi Peraturan Pemerintah Nomor 109
“Pada Hari Konsumen Nasional yang jatuh pada 20 April lalu, kami kembali mendorong pemerintah untuk memberikan hak konsumen HPTL dengan melakukan kajian mendalam mengenai produk HPTL,” kata Ketua Koalisi Indonesia Bebas TAR (KABAR) Ariyo Bimmo, Jumat (23/4/2021).
Baca juga: Revisi PP Tembakau Mandek, YLKI Nilai Menkes Tidak Peduli Kesehatan Masyarakat
Dengan adanya kajian tersebut, diharapkan pemerintah dapat memberikan edukasi yang lebih menyeluruh bagi para pengguna produk HPTL.
Apalagi, pengguna HPTL ini mayoritas merupakan perokok dewasa yang memang ingin beralih ke produk tembakau dengan risiko yang lebih rendah daripada rokok. Oleh karena itu, kebutuhan informasi berbasis pada bukti ilmiah yang terpercaya menjadi penting.
“Konkretnya, jika ada pertanyaan apakah HPTL itu memiliki risiko yang lebih rendah daripada rokok? Harusnya pertanyaan ini tidak berujung pro dan kontra, tapi dikaji lebih lanjut dan kajian tersebut akan lebih baik jika diinisiasi oleh pemerintah dan melibatkan dunia usaha. Setelah itu, dikonfirmasi oleh masyarakat serta mendengar suara konsumen. Dengan adanya kajian ilmiah itu, konsumen menjadi lebih rasional dalam menentukan pilihan yang berdasarkan bukti ilmiah,” ujarnya.
Hasil kajian tersebut, lanjut Bimmo, juga diharapkan dapat menjadi acuan bagi pemerintah dalam membuat regulasi terkait HPTL.
Sebab menurut Bimmo, sangat tidak adil, di saat pemerintah telah memungut cukai HPTL sejak 2018, namun regulasi yang mengatur keberadaan produk HPTL itu sendiri belum ada.
Saat ini, regulasi produk maupun industri HPTL yang berlaku baru diterbitkan oleh Kementerian Keuangan terkait penetapan tarif cukai. Di luar itu, belum ada lagi regulasi yang memayungi produk HPTL. Padahal, jumlah pengguna HPTL sudah banyak dan variasi produknya terus bertambah, seperti hadirnya produk tembakau yang dipanaskan dan kantong nikotin.
Dengan adanya regulasi yang akan melindungi konsumen tersebut, maka akan meminimalisir produk HPTL diakses oleh non-perokok dan anak di bawah umur 18 tahun.
Selain itu, regulasi juga turut mencegah peredaran produk ilegal di pasaran. Dengan demikian, produk tersebut dapat dimanfaatkan sesuai dengan peruntukannya yaitu membantu perokok dewasa untuk beralih ke produk tembakau yang lebih rendah risiko daripada rokok.
Bimmo menyarankan pemerintah agar terlebih dahulu menghadirkan kajian ilmiah di dalam negeri. Dengan begitu, hasil kajian tersebut dapat menjadi landasan dalam pembuatan regulasi.
Dalam penyusunan regulasi industri HPTL tersebut, Bimmo menekankan pentingnya semua pihak untuk membuka pikiran dan berdiskusi agar dapat memberikan manfaat yang sesuai bagi semua pihak.
“Adanya kajian ilmiah dan regulasi yang mendukung merupakan salah satu bentuk pemenuhan hak konsumen. Dengan demikian, pengguna produk tembakau yang ada di Indonesia dapat membuat keputusan berdasarkan informasi yang akurat,” terangnya.
Bimmo berharap regulasi HPTL segera diterapkan agar masyarakat terlindungi.
“Harusnya sesegera mungkin, sekalian memanfaatkan momentum pandemi, di mana orang-orang ingin menuju gaya hidup yang lebih rendah risiko. Secara jangka panjang juga dapat menjadi solusi alternatif untuk mengatasi jumlah perokok,” tutupnya.