Ekonomi Indonesia saat itu bahkan menjadi contoh kesuksesan pembangunan di negara berkembang. Kontribusi industri manufaktur di masa Orde Baru mencapai puncaknya sebesar 24,3 persen justru pada saat krisis ekonomi tahun 1997 di mana pertumbuhan industri di tahun tersebut sebenarnya minus 13 persen.
Di awal era orde reformasi, kontribusi industri manufaktur dalam PDB mencapai 25,2 persen pada tahun 2001. Capaian ini merupakan tertinggi sepanjang sejarah perkembangan industri manufaktur Indonesia. Tetapi, kontribusi industri pada tahun-tahun berikutnya cenderung stagnan, lalu perlahan terus menurun.
Pada 2008, kontribusi industri manufaktur dalam PDB sempat naik ke 23,81 persen tetapi dikoreksi menjadi 19,2 persen akibat diberlakukannya sistem akun nasional yang baru. Tren penurunan kontribusi secara gradual terus berlangsung hingga menyentuh 17,6 persen di tahun 2019.
Penurunan persentase kontribusi industri manufaktur dalam PDB diyakini dipicu oleh stagnansi pertumbuhan industri manufaktur yang sebenarnya telah terjadi sejak tahun 1996 –seolah sebagai pertanda dini bagi terjadinya krisis 1997/1998.
Pada 1996 pertumbuhan industri manufaktur anjlok ke angka 6,1 persen dari posisi 11.6 persen di tahun sebelumnya. Ini kali pertama sejak tahun 1984 pertumbuhan industri menyentuh angka 6 persen.
Pada krisis 1997, pertumbuhan industri pengolahan bahkan minus 13 persen. Semenjak itu, rata-rata pertumbuhan industri selalu di bawah 6 persen dengan pertumbuhan rata-rata per lima tahun berkisar di angka 5 persen.
Tahun 2019 dan 2020 merupakan tahun penuh tekanan khususnya bagi sektor industri manufaktur. Berbagai tekanan menyebabkan turunnya pertumbuhan industri manufaktur ke posisi 4,34 persen di tahun 2019 dan minus 2,52 persen di tahun 2020.
Pemicunya adalah perang dagang antara AS dan Tiongkok dan pandemi Covid-19. Perang dagang antara AS-Tiongkok menciptakan efek berantai di mana setiap negara meningkatkan proteksi perdagangan sehingga tercipta kembali high cost economy dalam sistem perdagangan dunia. Di samping itu, sisi supply juga terganggu.
Tiongkok sebagai penguasa pasar ekspor dunia berusaha mencari pasar baru untuk produk barang dan jasa mereka yang tidak bisa masuk ke AS. Meluapnya pasokan menekan sektor industri manufaktur di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Dari segi keuangan, para investor melakukan aksi wait and see sehingga berdampak pada ketidakpastian dan kelesuan.
Pandemi Covid-19 memberikan tekanan hebat kepada sektor industri dari dua sisi, sisi supply dan sisi demand. Sisi supply terganggu akibat terhambatnya rantai pasok global (supply shock). Sementara sisi demand terganggu utamanya akibat menurunnya daya beli masyarakat. Banyak industri manufaktur yang memutuskan mengurangi utilitas -bahkan menghentikan- produksinya.
Pelambatan pertumbuhan industri manufaktur sebagaimana dipaparkan di atas membuat beberapa kalangan berpendapat bahwa sedang terjadi -atau setidaknya sudah ada gejala- deindustrialisasi di Indonesia.
Nampaknya tidak demikian. Suatu negara dapat dikatakan mengalami deindustrialisasi manakala terjadi pertumbuhan negatif secara berturut-turut dalam kurun waktu yang cukup lama. Realitanya, sektor industri pengolahan di Indonesia selalu menunjukkan pertumbuhan yang positif dan selalu menjadi motor penggerak perekonomian nasional.
Pertumbuhan negatif hanya terjadi sebanyak dua kali -akibat kejadian luar biasa-, yaitu minus 11,5 persen akibat dampak krisis 1997 dan minus 2,93 persen pada tahun 2020 akibat dampak pandemi Covid-19.
Meski demikian, tambahnya, pada tahun berikutnya sektor industri pengolahan kembali tumbuh positif.