Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reynas Abdila
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menilai Indonesia seharusnya mengoptimalkan pembangkit listrik bertenaga batubara yang ada.
Ia menilai pemanfaatan energi terbarukan masih terlampau belum siap.
"Indonesia bisa mengambil pelajaran dari Inggris dan beberapa negara Eropa yang kini kembali menggunakan PLTU berbasis batubara untuk mengatasi krisis energi," kata Komaidi kepada wartawan, Rabu (29/9/2021).
Baca juga: DPR: Pemerintah Perlu Matangkan Strategi Investasi Pembangunan Pembangkit Listrik EBT
Di sisi lain, untuk beralih ke energi baru dan terbarukan (EBT) Indonesia dinilai masih membutuhkan waktu lebih.
“Kalau kita lihat di Amerika Serikat, EBT hanya 12 persen di tahun 2020. Kalau Inggris sudah lama pakai fosil, mereka sudah 400 tahun pakai batubara, sejak era revolusi industri,” tutur Komaidi.
Pekan ini, krisis energi melanda Inggris dan beberapa negara Eropa.
Ini menyadarkan mereka bahwa tidak bisa serta-merta mengandalkan dan bergantung sepenuhnya kepada energi baru terbarukan.
Baca juga: Dorong EBT, Kemenperin Targetkan TKDN Industri Panel Surya 90 Persen Pada 2025
Di saat sama, harga gas meroket 250 persen karena keterbatasan pasokan di Barat.
Komaidi yakin, sejauh ini teknologi batu bara akan tetap menjadi energi yang dominan di pembangkit listrik Indonesia.
Ia melihat, pemerintah akan berpikir realistis untuk menggunakan energi yang termurah.
Ia mengatakan, Indonesia perlu berhati-hati menyikapi masalah transisi energi ini.
Menurutnya, EBT bisa dikembangkan, tapi jika belum bisa kompetitif, jangan dipaksakan.
Ditambahkannya, sekalipun menggunakan batubara, PLTU baru saat ini sudah pakai teknologi maju. Di antaranya PLTU USC (Ultra Super Critical) yang bisa dihitung biaya produksinya.
“EBT sebagai pelengkap, bukan pengganti. Kalau diibaratkan makanan di meja, EBT itu ibarat sambal, bukan nasi nya. Hal ini sejalan dengan yang dituangkan Rencana Umum Energi Nasional dimana 2050 konsumsi fosil masih besar, dan EBT hanya 23 persen maksimal,” ujarnya.
Senada, Direktur Eksekutif Energi Watch Mamit Setiawan mengatakan, transisi energi menuju terbarukan pasti akan terjadi, mengingat sudah banyak negara berkomitmen untuk menerapkannya.
Namun, untuk Indonesia, lanjutnya, saat ini belum bisa menerapkan energi baru terbarukan tersebut.
“Transisi energi pasti terjadi, tapi sesuaikan kondisi. Kita harus melihat kondisi bahwa kita banyak belum siapnya. Karena masyarakat kita belum siap membeli energi dengan harga mahal,” kata Mamit.