News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Kebijakan Bank Sentral AS The Fed soal Suku Bunga Berpotensi Ganjal Pemulihan Ekonomi di Asia

Penulis: Namira Yunia Lestanti
Editor: Sanusi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Gedung Bank Sentral Amerika Serikat, Federal Reserve, di Washington DC.

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Namira Yunia Lestanti

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Rencana Bank Sentral Amerika Serikat atau Federal Reserve (The Fed) untuk menaikkan suku bunga dan memperketat kebijakan secara agresif nampaknya membuat pemulihan ekonomi beberapa negara di Asia khususnya bagi negara berkembang terganggu.

Ditambah adanya beberapa permasalahan seperti meningkatnya tekanan inflasi, perlambatan ekonomi, penyebaran varian baru dari Covid-19 makin mengaburkan prospek perekonomian Asia.

Baca juga: Jokowi Yakin Hubungan Indonesia-Singapura Akan Semakin Kuat

Ancaman ini tampaknya mengharuskan beberapa negara Asia berpenghasilan rendah dengan tingkat utang yang tinggi, untuk mempersiapkan berbagai risiko dari adanya kebijakan The Fed.

Tercatat pada 2007 Asia menyumbang sekitar 27 persen dari utang global. Namun di tahun 2021 utang tersebut naik mencapai 40 persen.

“Kali ini, suku bunga The Fed yang lebih tinggi mungkin tidak menyebabkan kejutan besar bagi pasar keuangan, tetapi pasti dapat memperlambat pemulihan dan pertumbuhan Asia,” jelas Direktur Departemen Asia dan Pasifik di IMF, Changyong Rhee.

Baca juga: Siap Kerahkan 8.500 Tentara, Amerika Masih Pantau Pergerakan Militer Rusia di Perbatasan Ukraina

Melansir CNBC International, sebelumnya pasar Asia juga pernah mengalami taper tantrum pada 2013 silam, akibat dari tindakan The Fed yang menghentikan program pembelian asetnya untuk menekan laju inflasi.

Sebagai informasi, taper tantrum yaitu gejolak ekonomi yang muncul akibat kebijakan tapering. Kebijakan tersebut membuat investor panik dan memilih untuk menjual obligasi, sehingga menyebabkan imbal hasil Treasury melonjak.

Hal ini berpengaruh pada arus keluar modal yang tajam serta depresiasi mata uang di wilayah Asia, yang kemudian memaksa bank sentral di kawasan tersebut untuk menaikkan suku bunga demi melindungi rekening modal mereka.

Menanggulangi terjadinya risiko taper tantrum terulang kembali, pelaksana IMF mengimbau beberapa negara Asia untuk waspada serta bisa memutuskan kebijakan cepat dengan tetap memperhatikan kondisi negara mereka.

Rhee menyebutkan beberapa kebijakan yang bisa diadaptasi di negara Asia untuk menjaga inflasi. Salah satunya memperketat kebijakan moneter secara bertahan, bagi negara yang memiliki kredibilitas. Sementara untuk negara yang sedang menghadapi tekanan inflasi harus bertindak lebih cepat dan komprehensif.

Sejauh ini IMF memperkirakan pertumbuhan ekonomi global di 2022 hanya sebesar 4,4 persen, atau menurun dari tahun lalu yang mencapai 5,9 persen. Diperkirakan turunnya laju ekonomi akibat imbas dari penurunan pertumbuhan ekonomi di AS dan China.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini