TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Pengusutan dugaan terjadinya kartel pada usaha minyak goreng terus dilakukan.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mulai besok, Jumat (4/2/2022) akan memanggil para pengusaha minyak goreng untuk dimintai keterangan.
Ketua KPPU RI Ukay Karyadi mengatakan, adanya indikasi praktik kartel yang menyebabkan melonjaknya harga minyak goreng beberapa waktu lalu.
"Kita menemukan empat pemain besarnya. Nah, perusahaan-perusahaan tersebut mulai besok oleh KPPU akan dipanggil terkait indikasi kartel," ujar Ukay Karyadi dalam diskusi media virtual, Kamis (3/2/2022).
Baca juga: Harga Minyak Goreng Masih Mahal, Pemkab Malang Bantah Ada Penimbunan Stok
Ukay memaparkan, berdasarkan catatanya ada 74 perusahaan di industri minyak goreng yang tergabung di dua asosiasi yakni GIMNI dan AIMI.
Namun jika dikerucutkan lagi, hanya ada sekitar 30 perusahaan dan ada 4 hingga 5 perusahaan yang menguasai pasar.
"Di hulunya mereka menguasai, di hilirnya mereka menguasai.
Tapi, mereka tetap mengacu pada harga internasional. Hal ini karena mereka yakin, jika harga dinaikkan, minyak goreng akan tetap laku di pasaran karena permintaan terhadap minyak goreng ini cenderung elastis," kata Ukay.
Ukay menambahkan, hal yang menjadi perhatian KPPU yaitu pabrik minyak goreng ternyata terintegrasi dengan kebun sawit milik para pengusaha tersebut.
Baca juga: Setelah Kebijakan Satu Harga, Stok Minyak Goreng Curah di Blitar Kosong
Selain itu, perusahaan-perusahaan tersebut juga menaikkan harga jual secara bersamaan.
Padahal kata dia, jika terjadi kenaikan di produk minyak goreng PT A (misalnya), maka PT B akan mengambil alih pasar PT A dengan tidak ikut menaikkan harga.
Oleh sebab itu, Ukay berharap agar pelaku usaha datang saat dimintai keterangan oleh KPPU.
"Mereka yang merasa tidak bersalah, bisa mengatakan tidak terbukti melanggar persaingan usaha yang sehat (kepada KPPU)," kata Ukay.
Langka di Pasar
Hari pasca penetapan harga eceran tertinggi minyak goreng oleh Kementerian Perdagangan, stok minyak goreng masih langka di beberapa daerah.
Di Pasar Tumpah Sukawati Gianyar Bali misalnya, harga minyak goreng kemasan 900 ml dijual Rp 13.000 – Rp 14.000.
Baca juga: Saat Emak-emak Antre Minyak Goreng Sejak Pagi, Mendag Pun Janjikan Harga Sesuai HET
Sebagian besar pedagang masih memiliki stok minyak goreng dengan harga lama, yakni Rp 38.000 untuk minyak goreng kemasan 2 liter.
Pedagang di pasar ini menuturkan masih kesulitan mendapatkan harga minyak goreng sesuai aturan pemerintah dari produsen.
Pedagang pun mengaku banyak pelanggan yang akhirnya beralih membeli minyak goreng di toko ritel.
Di Pasar Tradisional Podosugih, Kota Pekalongan, pedagang juga masih menjual dengan harga diatas harga eceran tertinggi alias lebih dari Rp 14.000, para pedagang masih menjual dengan harga Rp 18.000 – Rp 20.000 untuk minyak stok lama.
Sedangkan minyak dengan stok baru dijual dengan harga Rp 15.000.
Baca juga: Kebakaran dan Dugaan Penimbunan Minyak Goreng di Ciracas, Polisi Periksa Saksi, Undang Puslabfor
Pedagang beralasan mereka mendapatkan minyak tersebut dari distributor seharga Rp 14.000 per liter maka dengan dijual Rp 15.000, sehingga mereka akan dapat untung Rp 1.000.
Pernyataan Pemerintah
Selama kurun waktu tiga bulan lebih, lonjakan harga minyak goreng di dalam negeri melesat tanpa kendali.
Sejak dua bulan terakhir, minyak goreng juga berkontribusi besar terhadap inflasi. Meroketnya harga minyak goreng di Indonesia ini jadi ironi, mengingat pasokan minyak sawit di Indonesia selalu melimpah.
Bahkan tercatat jadi negara penghasil CPO terbesar di dunia. Secara umum, harga minyak goreng berada di kisaran Rp 19.000 per liter, bahkan di beberapa daerah harganya sudah melambung di atas Rp 20.000 per liter.
Pemerintah sendiri sebenarnya sudah menggelontorkan duit subsidi yang mengalir ke produsen hingga Rp 3,6 triliun, namun minyak goreng subsidi yang dibanderol Rp 14.000 per liter justru sulit ditemui di pasaran.
Terkait persoalan minyak goreng ini, diasumsikan pula karena adanya kartel mafia yang bermain.
Dalam hal ini, Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Oke Nurwan mengatakan, di Kemendag tidak melihat adanya indikasi kartel dari masalah tingginya harga minyak goreng.
“Soal kartel nanti KPPU yang menindaklanjuti kalau itu memang ada. Namun, pemerinah pada posisi tidak meneliti itu.
Fokusnya, saat ini segera mengambil kebijakan untuk menyiapkan harga minyak goreng murah bagi masyarakat,” ujarnya dalam acara Sapa Malam Indonesia Malam Kompas TV dikutip pada Rabu (2/2/2022).
Lebih jauh, Oke Nurwan menjelaskan, permasalahan ini terjadi karena adanya salah tafsir dari pelaku usaha kelapa sawit yang menerapkan harga lelang di PT Karisma Pemasaran Bersama Nusantara (KPBN) sesuai harga Domestic Price Obligation (DPO) yakni, Rp 9.300 per kilogram.
Harga tersebut adalah harga jual CPO untuk 20 persen kewajiban pasok ke dalam negeri dalam rangka penerapan DMO.
Kebijakan DMO dan DPO tersebut disalahartikan oleh beberapa pelaku usaha sawit yang seharusnya membeli CPO melalui mekanisme lelang yang dikelola KPBN dengan harga lelang, namun mereka melakukan penawaran dengan harga DPO.
Hal tersebut yang akhirnya membuat kekacauan di antara petani sawit. Padahal, seharusnya pembentukan harga tetap mengikuti mekanisme lelang di KPBN tanpa melakukan penawaran harga sebagaimana harga DPO.
“Eksportir itu harus membeli dengan harga wajar, tapi 20 persen yang dibelinya itu harus disalurkan ke industri minyak goreng, baik dalam bentuk CPO maupun Palm Olein dengan harga yang ditetapkan pemerintah,” jelas Oke Nurwan.
Kecurigaan KPPU
KPPU menyatakan masih menyelidiki dugaan kartel dalam kenaikan harga minyak goreng secara drastis. Terlebih, minyak goreng merupakan salah kebutuhan pokok masyarakat.
Komisioner KPPU Ukay Karyadi mengatakan, kartel tersebut terlihat dari kompaknya para produsen CPO dan minyak goreng yang menaikkan harga minyak goreng.
Para produsen minyak selama ini berdalih kenaikan harga akibat lonjakan harga CPO dunia.
Menurut pengusaha minyak goreng, mereka harus membeli CPO dengan harga pasar internasional sebelum mengolahnya menjadi minyak goreng. Alasan tersebut, menurut Ukay, kurang masuk akal.
Ini lantaran perusahaan minyak goreng besar di Indonesia juga memiliki perkebunan kelapa sawit milik sendiri yang berada di atas tanah milik negara yang didapat melalui HGU.
"Ini dinaikan juga relatif kompak, baik di pasar tradisional, di ritel modern, di pabrik perusahaan menaikkan bersama-sama walaupun mereka masing-masing memiliki kebun sawit sendiri-sendiri," terang Ukay.
"Perilaku ini bisa dimaknai sebagai sinyal apakah ini terjadi kartel karena harga, tapi ini secara hukum harus dibuktikan," ujar Ukay lagi.
Kartel sendiri merujuk pada sekelompok produsen yang mendominasi pasar yang bekerja sama satu sama lain untuk meningkatkan keuntungan sebesar-besarnya dengan menaikan harga, sehingga pada akhirnya konsumen yang dirugikan.
Menurut Ukay, dugaan kartel ini berkaitan dengan terintegrasinya produsen CPO yang juga memiliki pabrik minyak goreng. Dia menjelaskan, jika CPO-nya milik sendiri, harga minyak goreng tidak naik secara bersama-sama.
"Tadi sudah dijelaskan produsen CPO mana yang tidak memiliki pabrik minyak goreng, mereka kan awalnya produsen CPO. Masing-masing memiliki kebun kelapa sawit sendiri, supply ke pabrik minyak gorengnya," kata Ukay.
Selain itu Ukay juga mengatakan, pasar industri minyak goreng di Indonesia cenderung mengarah ke struktur yang oligopoli.
KPPU mencatat dalam data consentration ratio (CR) yang dihimpun pada 2019, ada empat industri besar tampak menguasai lebih dari 40 persen pangsa pasar minyak goreng di Indonesia.
Beberapa pemain besar industri minyak goreng yang juga memiliki perkebunan kelapa sawit antara lain Wilmar, Grup Salim, Grup Sinarmas, Musim Mas, hingga Royal Golden Eagle Internasional milik taipan Sukanto Tanoto. Elsa (KompasTV/Kompas.com/Catriana/Muhammad Idris)