Cermati Lebih Dalam
Senior Portfolio Manager of Samuel Aset Manajemen Agung Ramadoni mengakui bahwa hampir semua harga komoditas dalam kurun satu tahun terakhir meningkat cukup tajam, mendekati level commodity boom pada 2010-2011.
Namun hal ini perlu dicermati lebih dalam akankah berkelanjutan atau tidak. Hal itu menurutnya akan tergantung dari oil capital expenditure (capex) dari mayoritas perusahaan minyak di dunia.
Oleh karena itu, untuk mestimulus mayoritas perusahaan minyak dunia mengeluarkan capex secara progresif, kondisi politik global harus lebih stabil dengan berhentinya konflik di Eropa.
Baca juga: BEI Sebut Data Perdagangan Saham Positif, Tak Terpengaruh Invasi Rusia ke Ukraina
“Sejauh ini capex mereka dibandingkan dengan 2011 atau 2014 masih terbilang jauh. Dari segi inventory masih sangat rendah. Baik dari copper, nickel, aluminium, dan timah masih terbilang rendah. Masih in early stage bagi commodity price saat ini. Jadi kita tunggu,” ujarnya.
Meski demikian, Agung melihat ekonomi dalam negeri dengan penuh optimisme. Misalnya di sektor ritel yang mulai ada perbaikan sejak 2020 lalu yang jatuh akibat terhantam pandemi. Dari perbankan, likuiditas melimpah dengan tingkat kredit bermasalah yang terkendali.
Hal itu pun mendorong ekonomi pulih lebih baik. Sehingga terlihat dari penjualan produk otomotif dan properti yang meningkat.
Dalam kesempatan yang sama, Founder of GaleriSaham.com Rio Rizaldi mengimbau untuk bersikap lebih hati-hati dalam berinvestasi. Kendati ekonomi Indonesia lebih dipenuhi sentimen optimisme pasca pandemi, menurutnya jangan reaktif dengan sentimen akibat gejolak geopolitik.
Analisa pasar, rekam jejak data, kondisi makro dan mikro perlu lebih dipahami dalam menyikapi perkembangan ekonomi. Indikator-indikator ekonomi menurutnya harus dilihat untuk menentukan price action.
Baca juga: Bursa Saham AS Berakhir Naik Tajam, Nasdaq Naik 3 Persen
Di mana pasokan dan permintaan sangat berpengaruh termasuk sentimen positif maupun pesimisme. Oleh karena itu, sebenarnya lebih baik jika kondisi ekonomi bertumbuh pada kondisi ideal tanpa adanya konflik seperti yang sedang terjadi di Benua Biru.
“Investor harus tahu konsep dasar pergerakan harga. Market juga kompleks, tidak hanya melihat impact perang Rusia vs Ukraina, tapi proyeksi ekonomi Indonesia, defisit neraca perdagangan, dan lainnya. Untuk itu, investor perlu aware untuk sentimen market sekarang dan akan datang tetapi tidak perlu reaktif terhadap berita-berita sekarang,” ujarnya.
Dia pun menekankan bahwa investor di dalam negeri jangan panik menghadapi sentimen konflik Rusia-Ukraina terhadap pasar, yang kemudian menjual sahamnya. Dengan selalu melihat kondisi fundamental usaha emiten.
“Sebagai investor harus mengikuti konsep pebisnis yaitu mencari jalan supaya survive. Mereka berusaha tetap bertahan bahkan growing dalam kondisi apapun. Mungkin trader bisa mengikuti pebisnis. Sehingga lebih siap dengan segala keadaan dan berusaha terus tumbuh,” ujarnya.
Sementara itu, Founder of Syariah Saham Asep M. Saepul Islam atau akrab disapa Mang Amsi dalam acara tersebut memberikan rekomendasi saham emiten dalam konteks sentimen masalah geopolitik Rusia-Ukraina. Dia mengatakan investor bisa berinvestasi pada saham-saham emiten yang terimbas dampak positif dari isu tersebut. Seperti UNTR, AALI, INCO, BTPS, ITMG, hingga SIDO.
“Ini karena mereka sudah rilis laporan akhir tahun dan kinerjanya signifikan naik. Kalau yang full year 2021 membukukan kinerja moncer, terlebih lagi ditopang kenaikan harga CPO, nikel dan batu bara untuk ITMG, AALI, INCO dan UNTR. Rasio utangnya masih di bawah 1 (DER < 1),” tutupnya.