Fakta di lapangan, kata Mufti, beberapa warga di wilayah tertentu masih mengeluhkan harga minyak goreng yang mahal.
Mereka juga mengeluhkan kosongnya stok barang di pasaran.
Padahal Mendag Lutfi telah mengeluarkan kebijakan terkait minyak goreng.
Mufti menyebut, dua kali kebijakan Mendag Lutfi soal minyak goreng, berbeda dengan fakta di lapangan.
Kebijakan pertama, penerapan satu harga Rp14.000 per liter.
Kemudian kebijakan lainnya, penetapan harga Rp11.500 per liter untuk curah, Rp13.500 per liter untuk kemasan sederhana dan Rp14.000 per liter untuk kemasan premium yang semestinya berlaku per 1 Februari 2022, kemarin.
"Itu kan kebijakannya, janji kebijakannya. Fakta lapangannya, bahkan tembus di atas Rp20.000 per liter."
"Stoknya pun langka. Sampai hari ini barang mahal dan stoknya langka,” kritik politisi PDI-Perjuangan itu.
Mufti menilai, monitoring Kementerian Perdagangan terhadap kebijakan mengatasi lonjakan harga minyak goreng masih sangat lemah.
Pasalnya, kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) ternyata tidak cukup signifikan berdampak di pasar.
"Hitung-hitungannya, dari DMO ini barang semestinya bisa memenuhi pasar."
"Tapi faktanya tetap mahal dan susah carinya."
"Saking susahnya, sekarang ini uang cari barang minyak goreng, bukan barang cari uang."
"Kalau sudah uang cari barang, berarti ada masalah manajemen pasokan yang luar biasa, yang itu sebenarnya tanggung jawab utama Mendag," jelas Mufti.