TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Sektor migas dalam negeri mendapatkan sorotan dari berbagai kalangan akhir-akhir ini.
Pasalnya sejumlah perusahaan minyak dan gas (migas) asing dikabarkan akan hengkang dari Indonesia seperti Shell, Chevron, dan Conocophilips.
Terkait hal itu, Anggota Komisi VII DPR RI yang membidangi masalah migas, Yulian Gunhar meminta pemerintah mengevaluasi iklim investasi bisnis hulu migas di Indonesia, yang dianggap sebagai penyebab utama dari hengkangnya beberapa investor tambang migas asing belakangan ini.
“Perginya para pemain migas asing dari Indonesia ini tidak lepas dari kalkulasi mereka terhadap iklim investasi yang tidak menguntungkan. Apalagi analisa dari beberapa pakar menjelaskan bahwa alasan investor besar itu keluar dari Indonesia itu disebabkan oleh iklim investasi di Indonesia yang sudah tidak kondusif,” katanya, dalam keterangan tertulis, Selasa (8/3/2022).
Baca juga: Anggota DPR: Atasi Kenaikan Harga Migas Dunia, Pertamina Cuma Ambil Jalan Pintas
Gunhar mengatakan Indonesia masih tertinggal dari deretan negara yang memiliki daya tarik investasi besar di sektor hulu migas.
Bahkan di lingkup Asia Tenggara, daya tarik investasi hulu migas Indonesia kalah dari Malaysia.
Untuk itulah, Anggota DPR Dapil Sumsel II itu menambahkan, perlu adanya beberapa perbaikan kebijakan menyangkut iklim investasi hulu migas, terutama merevisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas, dan beberapa masalah lain.
“Selain revisi Undang Undang MIgas No.22 Tahun 20021, kita juga perlu membenahi beberapa masalah yang dikeluhkan investor seperti perizinan yang masih rumit, pembebasan lahan. Juga kebijakan fiskal terutama kepada investor di lapangan migas Indonesia yang banyak berlokasi di laut dalam, karena berisiko tinggi dan butuh dana investasi yang sangat besar,” katanya.
Baca juga: Perlu Kegiatan Ekplorasi Migas yang Intensif dan Pemerintah Perlu Beri Dukungan
Politisi PDI Perjuangan itu juga meminta Pemerintah untuk mengantisipasi dampak buruk dari hengkangnya banyak investor hulu migas asing ini dari Indonesia, terhadap pencapaian target produksi minyak bumi dan gas bumi.
Dimana pemerintah menargtakan produksi 1 juta barel per hari, serta produksi gas bumi sebesar 12 miliar standar kaki kubik per hari pada tahun 2030.
“Target itu juga membutuhkan nilai investasi mencapai 187 miliar dolar Amerika Serikat atau sekitar Rp 2.711 triliun. Jika banyak investor migas besar hengkang, tentu pencapaian target ini bisa molor. Ditambah tingkat produksi minyak dan gas bumi di dalam negeri yang terus menurun, akibat rendahnya penemuan cadangan baru. Apalagi produksi di dalam negeri juga masih mengandalkan lapangan-lapangan existing yang mayoritas telah berumur tua,” katanya.