News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

G20 di Indonesia

Di G20, RI Soroti Ketimpangan Investasi Energi Hijau ke Negara Maju dan Berkembang

Penulis: Yanuar R Yovanda
Editor: Hendra Gunawan
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Pembangkit listrik Tenaga Air (PLTA) di Sulawesi yang memanfaatkan arus sungai Poso ini akan dimaksimalkan sebagai pembangkit peaker yang akan dioperasikan selama waktu beban puncak, yaitu pukul 17.00 s.d 22.00 dengan Exclusive Commited Energy sebesar 1.669 Giga Watt hours (GWh) per tahun.

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Yanuar Riezqi Yovanda

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia mengatakan, dalam kaitannya dengan investasi, ada beberapa gagasan utama terkait dengan tantangan ekonomi dunia saat ini.

Dalam forum pertemuan kedua Trade, Investment, and Industry Working Group Meeting (2nd TIIWG) Presidensi G20, dia menyoroti satu di antara tantangan, yakni ketidakadilan aliran investasi ke negara maju dan berkembang.

"Pertama, harus saya katakan jujur dalam forum terhormat ini, ketidakadilan dalam aliran investasi antara negara maju dan berkembang.

Baca juga: RI Miliki Potensi Besar di PLTA Saat Negara Eropa Sudah Mentok

Investasi di bidang energi hijau masih sangat timpang, hanya satu per lima saja investasi energi hijau yang mengalir ke negara berkembang," ujarnya dalam acara 2nd TIIWG di Solo, Rabu (6/7/2022).

Dengan kata lain, lanjut Bahlil, sekira dua per tiga dari total populasi dunia hanya mendapatkan satu per lima dari total investasi hijau.

"Termasuk di dalam perkara ini, ketimpangan harga karbon di negara maju dan berkembang menjadi salah satu contoh kecil.

Pertemuan di berbagai forum dunia sudah kita lakukan, kita setuju menurunkan emisi rumah kaca, tapi apa yang terjadi? Ketimpangan harga karbon antara negara maju dan negara berkembang itu jauh sekali," kata Bahlil.

Selain itu di saat bersamaan, negara-negara berkembang mempunyai harga pasok karbon yang dinilai dengan harga yang jauh lebih rendah.

"Dalam pandangan saya pribadi, tata kelola harga karbon ini harus diatur sebagai mestinya untuk kepentingan kesejahteraan rakyat.

Negara maju contohnya 100 dolar AS per ton (harga karbon), negara berkembang penghasil karbon ini dinilai hanya 10 dolar AS, saya tidak ingin ada perlakuan yang tidak adil," pungkasnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini