TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Indonesia perlu mengambil pelajaran dari situasi yang sedang terjadi di Sri Lanka. Negara beribukota Colombo tersebut tengah mengalami krisis politik dan ekonomi yang berimbas pada kebangkrutan.
“Indonesia perlu melakukan mitigasi pada faktor-faktor yang berkontribusi pada terjadinya inflasi. Selain itu, Indonesia juga perlu merespons konflik geopolitik global dengan kebijakan yang tepat dan berorientasi pada kepentingan masyarakat luas,” jelas Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Hasran, Kamis (14/7/2022).
Hasran menjelaskan, sebagaimana negara lain, Sri Lanka juga tidak lepas dari dampak kondisi global. Tapi selain itu, kondisi Sri Lanka juga dipicu oleh adanya salah urus atau mismanagement dan korupsi.
Baca juga: Kabur dari Amukan Rakyat, Presiden Sri Lanka Lanjutkan Pelarian dari Maladewa ke Singapura
Ia melanjutkan, kondisi tersebut diperparah dengan kebijakan utang luar negeri yang tidak mempertimbangkan kemampuan bayar, tax cut (pemotongan pajak), hingga pelarangan impor pupuk kimia.
Perekonomian Indonesia masih relatif jauh lebih aman dan terkendali kalau dibandingkan dengan Sri Lanka. Hal ini dapat terus dipertahankan kalau ekonomi dikelola dengan baik dan fokus pada mitigasi faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi.
Indonesia dan Sri Lanka memiliki kondisi makroekonomi yang tidak sama. Rasio utang terhadap GDP (Debt to GDP ratio) Sri Lanka berada di atas 107 persen dengan tingkat inflasi sekitar 54,6 persen pada Juni lalu.
Di sisi lain, rasio utang terhadap PDB Indonesia pada akhir bulan Mei 2022 hanya 38,88 persen, jauh dibawah ambang batas yang diatur dalam UU Keuangan Negara yakni 60 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Selain itu, mayoritas utang Indonesia berupa surat berharga negara yang berdenominasi rupiah (lebih dari 70 persen). Berbeda dengan Sri Lanka yang terlilit utang valuta asing dalam jumlah besar dan mayoritas ialah utang luar negeri.
Inflasi Indonesia pada bulan Juni, walaupun terbilang tinggi kalau dibandingkan di tahun-tahun sebelumnya, juga masih dalam kategori aman, yaitu sekitar 4,35 persen.
“Walaupun inflasi Indonesia masih berada dalam kisaran 4 persen, angka ini dapat terus meningkat jika suatu waktu pemerintah memutuskan untuk menaikkan harga BBM bersubsidi demi menjaga APBN agar tetap sehat,” lanjutnya.
Baca juga: Status Darurat dan Jam Malam Berlaku di Sri Lanka, Keadaan Makin Tak Terkendali
Kenaikan harga pangan dan energi di tingkat global mulai berdampak ke Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari inflasi atau kenaikan harga umum per Juni 2022 mencapai 4,35 persen.
Banyak faktor yang mempengaruhi tingginya inflasi di Indonesia, misalnya perang Rusia-Ukraina yang menyebabkan terganggunya lalu lintas perdagangan pangan dan kondisi makro ekonomi global.
Ia menambahkan, pemerintah perlu fokus untuk menjaga keterjangkauan masyarakat terhadap pangan, salah satunya dengan memastikan ketersediaannya yang cukup di pasar sehingga dapat dijangkau oleh semua lapisan masyarakat, terutama mereka yang berpenghasilan rendah.
Di saat yang bersamaan, penguatan kapasitas petani dan upaya-upaya untuk meningkatkan produktivitas pangan nasional juga perlu diteruskan.