Laporan Wartawan Tribunnews.com Namira Yunia Lestanti
TRIBUNNEWS.COM, BRUSSEL – Aktivitas manufaktur di zona Eropa sejak bulan lalu terpantau berkontraksi hingga nilai outputnya anjlok dari prediksi awal.
Anjloknya produksi manufaktur Eropa, terjadi setelah harga pangan dan energi di kawasan Uni Eropa melonjak menuju zona tertinggi. Hal inilah yang membuat angka inflasi di Eropa mulai meroket hingga memicu kekhawatiran bagi para investor akan adanya potensi resesi.
Ancaman inflasi bahkan telah membuat sejumlah pabrik-pabrik besar di zona euro terpaksa menimbun barang produksinya yang tidak terjual, imbas dari menurunnya jumlah permintaan produksi.
Baca juga: Resesi Landa Inggris, Bank Of England Diprediksi Akan Menaikan Suku Bunga 0,5 Poin
Seperti dilansir dari Reuters Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur akhir S&P Global turun menjadi 49,8 pada Juli dari sebelumnya berada di posisi 52,1 di sepanjang bulan Juni, penurunan serupa juga terlihat pada indeks output yang dimasukkan ke dalam PMI komposit dimana pendapatannya merosot ke level terendah dari 49,3 dibulan Juni menjadi 46,3 dibulan Juli.
Tak hanya itu Indeks pesanan produk manufaktur baru juga ikut terkerek turun menjadi 42,6 dari sebelumnya dipatok 45,2, penurunan ini bahkan jadi yang terendah sejak Mei 2020 ketika pandemi virus corona mulai mencengkram dunia.
“Manufaktur zona euro tenggelam ke dalam penurunan yang semakin tajam, menambah risiko resesi di kawasan itu. Pesanan baru sudah turun dengan kemungkinan yang lebih buruk akan datang," kata Chris Williamson, kepala ekonom bisnis di S&P Global.
Penurunan produksi di dalam industri otomotif ini tentunya makin menambah tekanan pada laju inflasi di Eropa, mengingat saat ini angka Inflasi zona euro telah naik 8,9 persen, melesat jauh diatas target tahunan Eropa.
Sejumlah cara telah dilakukan Uni Eropa untuk menghentikan laju inflasi di kawasan euro salah satunya dengan suku bunga lebih tinggi pada awal bulan lalu. Namun sayangnya cara tersebut belum mampu mengendalikan percepatan angka inflasi, bahkan imbas dari lonjakan harga pangan dan energi pasar global kini Eropa memiliki peluang 45 persen untuk masuk dalam jurang resesi.
Baca juga: Terancam Resesi, Berikut Industri Yang Tahan Banting Menghadapi Gelombang PHK di Negeri Paman Sam
Penyebab Resesi Ekonomi
Istilah resesi ekonomi kerap terdengar di telinga masyarakat. Namun, tak semua masyarakat tentu memahami istilah resesi ekonomi tersebuut.
Saat mendengar istilah resesi yang terlintas di benak masyarakat biasanya terkait dengan masalah keuangan dan kondisi finansial yang memburuk.
Resesi juga kerap disebut sebagai salah satu ancaman paling menakutkan bagi semua negara dunia.
Penyebab resesei ekonomi:
1. Inflasi
Resesi biasanya akan muncul karena dipicu beberapa hal salah satunya guncangan inflasi yang tak kunjung mereda, kondisi ini terjadi imbas dari melonjaknya berbagai harga komoditas di pasar global. Apabila situasi ini terjadi dalam kurun waktu yang lama maka dapat membuat daya beli masyarakat menurun.
Baca juga: Apa Itu Resesi? Ini Pengertian, Faktor Penyebab dan Dampaknya
2. Gelembung Aset
Tak hanya itu saja penyebab lain dari munculnya resesi juga bisa dipicu dari melonjaknya gelembung aset suatu negara. Meroketnya angka inflasi akan membuat para investor melakukan safe haven dengan menjual semua sahamnya. Adanya panic selling tentunya dapat merusak pasar karena harga properti akan ikut jatuh menyusul ramainya aksi jual yang dilakukan investor.
3. Lonjakan Suku Bunga
Inflasi yang melambung memicu bank sentral untuk memperketat kebijakan moneternya dengan menaikkan suku bunga acuan. Namun masalah tersebut membuat daya beli masyarakat menurun. Kondisi ini juga akan membebani debitur dalam melangsungkan transaksi pembayaran. Apabila utang tersebut tak kunjung dibayarkan debitur, maka perbankan bisa kolaps. Dengan begini aktivitas perekonomian suatu negara akan menjadi terhambat. Inilah yang membuat kenaikan suku bunga menjadi pemantik utama resesi.
4.Deflasi
Deflasi merupakan kondisi dimana suatu negara mengalami kekurangan jumlah uang yang beredar di masyarakat. Sekilas deflasi bisa meningkatkan daya beli masyarakat, tapi jika terjadi berlebihan akan merugikan penyedia barang dan jasa.
Dimana kondisi tersebut dapat membuat suatu barang atau jasa mengalami penurunan harga secara terus-menerus. Hal inilah yang dikhawatirkan dapat membuat konsumen menunda pembelian dan menunggu hingga nominal terendah. Apabila ini dibiarkan maka daya beli suatu negara akan melemah, hal tersebut tentunya dapat memicu terjadinya resesi.
Baca juga: Menko Airlangga: Fundamental Ekonomi Lebih Baik, Indonesia Tidak Akan Alami Resesi
5. Guncangan Ekonomi
Munculnya guncangan ekonomi yang terjadi secara mendadak dan tidak direncanakan seperti pandemi Covid-19, bisa menjadi penyebab serius munculnya resesi. Hal ini akan membuat pendapatan suatu negara menurun dan berimbas pada melemahnya daya beli masyarakat global
6. Tumpukan Utang
Membengkaknya utang suatu negara juga bisa menjadi faktor penyebab resesi. Utang yang melonjak membuat biaya pelunasannya meninggi, bahkan ini bisa membuat suatu negara tersebut mengalami default atau gagal bayar.
7. Perkembangan Teknologi
Berkembangnya teknologi juga menyumbang faktor terjadinya resesi. Sebagai di abad ke-19, dimana saat itu tengah terjadi revolusi industri akibat peningkatan teknologi hemat tenaga kerja.
Apabila perusahaan besar mulai memangkas karyawannya dan beralih menggunakan teknologi canggih maka hal tersebut dapat memicu bertambahnya angka pengangguran.
Melonjaknya angka pengangguran di tengah lesunya perekonomian negara dikhawatirkan dapat membuat standar kehidupan menurun, serta membuat penghasilan pajak negara anjlok. Dengan begitu suatu negara tak dapat lagi melakukan kegiatan impor untuk memasok kebutuhan pokok warga negaranya, seperti impor pangan, BBM, dan obat - obatan.