Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ismoyo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Nilai tukar mata uang rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) ditutup melemah di level Rp 14.911 pada Rabu (3/8/2022) sore.
Sebelumnya pada penutupan kemarin Selasa (2/8/2022), mata uang Garuda berada di level Rp 14.889 per dolar AS.
Sebelumnya, Pengamat Pasar Keuangan, Ariston Tjendra mengatakan, nilai tukar rupiah pada hari ini memang telah diprediksi berpotensi mengalami tekanan terhadap dollar AS karena sentimen eksternal.
Baca juga: Rabu Pagi Rupiah Kembali Dibuka Melemah di Level Rp14.895 Per USD
Salah satunya sentimen the Fed yang masih memungkinkan agresif untuk menaikkan suku bunga.
"Semalam beberapa pejabat the Fed dalam kesempatan terpisah masih menyuarakan kemungkinan the Fed akan agresif untuk menaikan suku bunga acuannya untuk menurunkan tingkat inflasi AS," papar Ariston kepada Tribunnews, Rabu (3/8/2022).
Di samping itu, lanjut Ariston, kunjungan Ketua DPR AS ke China memunculkan ekspektasi konfrontasi baru AS dan China yang bisa mengganggu perekonomian global.
Ekspektasi negatif ini mendorong sebagian pelaku pasar masuk ke aset dollar AS sebagai aset aman.
Dengan adanya sejumlah sentimen, fluktuasi nilai tukar Rupiah masih akan berada di kisaran Rp14.880 hingga Rp14.920.
"Potensi tekanan ke arah Rp14.920, dengan support di kisaran Rp14.880," pungkas Ariston.
Baca juga: Rupiah Ditutup Melemah Terhadap Dolar AS di Level Rp14.889
Rabu Pagi Rupiah Dibuka di Level Rp14.895
Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terpantau mengalami pelemahan pada pembukan perdagangan Rabu pagi (3/8/2022).
Mengutip data Bloomberg sekitar pukul 09.02 WIB, rupiah dibuka melemah di level Rp14.895. Pada perdagangan kemarin, Selasa 2 Agustus 2022 rupiah berada di level Rp14.889 per dolar AS.
Baca juga: Bank Indonesia Siap Luncurkan Rupiah Digital, Apa Tanggapan Pelaku Usaha Kripto?
Pengamat Pasar Keuangan, Ariston Tjendra mengatakan, nilai tukar rupiah pada hari ini berpotensi mengalami tekanan terhadap dollar AS karena sentimen eksternal.
Salah satunya sentimen the Fed yang masih memungkinkan agresif untuk menaikkan suku bunga.