Emerging market telah mengimbangi kenaikan suku bunga bank sentral global lainya untuk mengendalikan inflasi yang menjadi hotspot di mana-mana disamping untuk mendukung nilai tukarnya supaya tidak kehilangan value nya," ujar Sutopo.
Menurut Sutopo, risiko resesi semakin nyata di depan mata, karena gelombang pengetatan kebijakan moneter global.
Oleh karena itu, perlu koordinasi terpadu antara BI dan Pemerintah dalam mengendalikan inflasi sembari menjaga pertumbuhan ekonomi tetap pada jalurnya. Serta, menopang nilai tukar agar tidak jatuh terlalu dalam terhadap efek kebijakan negara ekonomi maju.
Kenaikan suku bunga tentu akan menghambat ekonomi, namun itu dibutuhkan supaya inflasi bisa kembali ke kisaran target bank.
Sutop memperkirakan, kenaikan suku bunga BI akan bisa menahan laju pelemahan rupiah, minimal bergerak di bawah ambang batas Rp 15.000 dalam waktu dekat.
"Untuk akhir tahun, kemungkinan tidak bergeser jauh dari Rp 15.000," ucapnya.
Baca juga: Sri Mulyani Waspadai Keluarnya Dana Asing Usai Kenaikan Suku Bunga The Fed 75 Basis Poin
Kinerja Sektor Riil Melambat
Anggota Komisi XI DPR Kamrussamad mengatakan, kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) akan berdampak pada perlambatan sektor riil.
Ia menyebut, bersamaan dengan naiknya suku bunga, BI juga harus mempersiapkan langkah mitigasi.
Kamrussamad menyadari, kondisi moneter Indonesia saat ini memang menghadapi dua tekanan sekaligus.
Tekanan eksternal dari kenaikan suku bunga bank sentral AS dan tekanan internal dari eskalasi inflasi.
"Inflasi inti kita sudah mencapai 3,04 persen secara tahunan. Inflasi inti merupakan indikator penting permintaan dan penawaran masyarakat yang sesungguhnya. Daya beli kian melemah," ungkap Kamrussamad dalam keterangannya, Jumat (23/9/2022).
"Namun, kita perlu hati-hati dampak dari kenaikan suku bunga ini bisa memperlambat kinerja sektor riil," sambungnya.
Kamrussamad melanjutkan, minat pelaku usaha meminjam dari perbankan akan menurun, begitu pula dengan kredit konsumsi seiring adanya keputusan kenaikkan suku bunga BI.