Tak hanya itu, orang-orang Eropa yang merasa superior risih karena gerbongnya tidak dipisah. Mereka disatukan bersama orang Asia Timur dan pribumi.
"Kota juga jadi kotor karena kuda buang hajat sembarangan," ujar Charunja.
Kemudian, muncul ide mengganti kereta tenaga kuda menjadi tenaga uap.
Pada 1898, tenaga kuda resmi diganti menjadi tenaga uap.
Baca juga: PT MRT Jakarta Temukan Rel Trem Peninggalan Belanda di Kawasan Glodok
Batang rel disesuaikan dengan trem uap. Lokomotif didatangkan dari Jerman. Gerbong-gerbong didatangkan dari Belgia dan Belanda.
Pada saat operasi rel trem uap, gerbong mulai dibagi menjadi tiga kelas.
Kelas 1 bagi orang-orang Eropa. Kelas 2 bagi orang Eropa satu kelas di bawahnya dan orang Asia Timur. Lalu, gerbong 3 bagi pribumi.
"Permasalahan kembali muncul. Trem sering mogok saat musim hujan karena terlalu dingin. Sebab, lokomotif yang didatangkan dari Jerman bukan diuapkan. Tidak ada kayu bakar yang memanskan ketel uap. Jadi, ketel uap di sini tidak seperti itu," katanya.
Pengisian di depo diisi dengan uap bertekanan tingi yang sebelumnya sudah diproses.
Tak hanya mogok, saat pengisian kerap terjadi ledakan.
"Jadi, pemerintah Belanda sepakat mengganti trem uap mejadi trem lsitrik. Relnya juga ikut diganti agar menyesuaikan," kata Charunia.
Baca juga: Rel Trem Peninggalan Belanda yang Ditemukan saat Pembangunan Proyek MRT akan Disimpan oleh Perum PPD
Rel trem listrik itu yang kemudian ditemukan di kawasan Harmoni, Sawah Besar, Mangga Besar, dan Pintu Besar Selatan dari Glodok.
Sedangkan rel trem uap dan trem kuda sudah tidak ada bekasnya.