Laporan Wartawan Tribunnews, Nur Febriana Trinugraheni
TRIBUNNEWS.COM, PARIS - Ekonomi dunia diperkirakan hanya akan tumbuh moderat tahun ini dan berkembang lebih lambat pada tahun depan karena kenaikan suku bunga, inflasi yang tinggi dan perang Rusia-Ukraina.
Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) yang berbasis di Paris, Prancis, menerbitkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global pada Selasa (22/11/2022).
OECD memperkirakan ekonomi dunia hanya akan tumbuh 3,1 persen tahun ini, turun tajam dari 5,9 persen pada 2021.
Meski tidak memprediksi terjadinya resesi, namun proyeksi OECD untuk ekonomi global pada tahun depan lebih buruk lagi, ekonomi dunia diperkirakan hanya tumbuh 2,2 persen di 2023.
“Memang benar kami tidak memprediksi resesi global. Tapi ini adalah prospek yang sangat, sangat menantang, dan menurut saya tidak ada orang yang akan sangat terhibur dengan proyeksi pertumbuhan global 2,2 persen," kata Sekretaris Jenderal OECD, Mathias Cormann dalam konferensi pers.
OECD, yang terdiri dari 38 negara anggota, bekerja untuk mempromosikan perdagangan internasional dan kemakmuran serta menerbitkan laporan dan analisis berkala.
Data yang diterbitkan OECD menunjukkan 18 persen dari hasil ekonomi di negara-negara anggotanya dihabiskan untuk memenuhi energi, setelah invasi Rusia ke Ukraina memicu kenaikan harga minyak dan gas alam.
Baca juga: Ekonom: Jika AS Gagal Bayar Utang, Perekonomian Dunia Akan Kolaps
Kenaikan harga energi telah mendorong dunia dengan krisis energi. Inflasi, yang sebagian besar diperburuk oleh harga energi yang tinggi, “Telah berbasis luas dan terus-menerus,” kata Cormann.
Sementara “pendapatan rumah tangga riil di banyak negara telah melemah meskipun ada langkah-langkah dukungan yang telah diluncurkan oleh banyak pemerintah.”
Perlambatan ekonomi global
Dalam proyeksi terbarunya, OECD memperkirakan dorongan agresif Federal Reserve AS (The Fed) untuk menjinakkan inflasi dengan suku bunga yang lebih tinggi akan membuat ekonomi AS "hampir berhenti".
OECD memprediksi Amerika Serikat, ekonomi terbesar di dunia, tumbuh hanya 1,8 persen tahun ini, turun drastis dari 5,9 persen pada 2021, dan tumbuh 0,5 persen pada 2023, serta 1 persen pada 2024.
Pandangan suram itu dibagikan secara luas. Sebagian besar ekonom memperkirakan AS akan memasuki setidaknya resesi ringan pada tahun depan, meskipun OECD tidak secara khusus memprediksinya.
Baca juga: 2023 Ekonomi Dunia Gelap Gulita, Pertumbuhan Ekonomi Semua Negara Diperkirakan Negatif
Perkiraan OECD untuk 19 negara Eropa yang menggunakan mata uang euro, yang mengalami krisis energi akibat perang Rusia, hampir "tidak lebih cerah".
Organisasi ini memperkirakan zona euro akan mengalami pertumbuhan ekonomi sebesar 0,5 persen pada tahun depan, sebelum sedikit meningkat menjadi 1,4 persen pada 2024.
Diperkirakan inflasi akan terus menekan benua Eropa, dengan OECD memprediksi indeks harga konsumen, yang naik hanya 2,6 persen pada 2021, akan melonjak 8,3 persen untuk sepanjang tahun ini dan 6,8 persen pada 2023.
Pertumbuhan ekonomi Asia
Pertumbuhan apa pun yang dihasilkan ekonomi internasional tahun depan, kata OECD, sebagian besar akan datang dari negara-negara pasar berkembang di Asia.
Diperkirakan, negara-negara pasar berkembang di Asia akan mencapai tiga perempat pertumbuhan dunia tahun depan sementara ekonomi AS dan Eropa goyah.
Perekonomian India, misalnya, diperkirakan tumbuh 6,6 persen tahun ini dan 5,7 persen tahun depan.
Baca juga: Credit Suisse: Ekonomi Asia Lampaui AS dan Eropa, tapi Tingkat Kesuburan Turun
Perekonomian China, yang baru-baru ini membanggakan pertumbuhan tahunan dua digit, hanya akan tumbuh 3,3 persen pada tahun ini dan 4,6 persen pada 2023.
Perekonomian terbesar kedua di dunia itu tertatih-tatih oleh kelemahan di pasar propertinya, utang yang tinggi, dan kebijakan Covid-19 yang mengganggu perdagangan.
Didukung oleh pengeluaran pemerintah yang besar dan tingkat pinjaman yang mencapai rekor terendah, ekonomi dunia melonjak keluar dari resesi selama pandemi pada awal 2020.
Pemulihan ekonomi global begitu kuat sehingga membuat pabrik, pelabuhan, dan pangkalan pengiriman kewalahan, menyebabkan kelangkaan dan harga yang lebih tinggi.
Invasi Moskow ke Ukraina pada Februari telah mengganggu perdagangan energi dan makanan sehingga semakin mempercepat kenaikan harga.
Setelah puluhan tahun berhadapan dengan harga rendah dan suku bunga sangat rendah, konsekuensi dari inflasi dan suku bunga yang tinggi secara kronis tidak dapat diprediksi, menurut laporan OECD.
"Strategi keuangan yang diberlakukan selama periode panjang suku bunga yang sangat rendah dapat diekspos oleh kenaikan suku bunga yang cepat dan memberikan tekanan dengan cara yang tidak terduga," kata OECD.
Suku bunga yang lebih tinggi yang ditetapkan oleh The Fed dan bank sentral lainnya akan mempersulit pemerintah, bisnis, dan konsumen yang terlilit utang untuk membayar tagihan mereka.
Secara khusus, dolar AS yang lebih kuat, akan membahayakan perusahaan asing yang meminjam dana dalam mata uang AS dan kemungkinan akan kekurangan sarana untuk membayar utang mereka yang sekarang lebih tinggi.