PLIS, yang diperkenalkan pada 2020, menawarkan insentif kepada investor domestik dan asing dalam bentuk potongan pajak, pemberian izin, serta stimulus lainnya.
“Sangat mungkin pemerintah mengandalkan PLIS sebagai alat untuk membuat ekonomi India lebih didorong oleh ekspor dan lebih saling terkait dalam rantai pasokan global,” tulis analis di S&P.
Baca juga: Kepemimpinan G20 Beralih ke India, Ini Arti Logo dan Tema yang Disiapkan PM Narendra Modi
Dengan cara yang sama, Morgan Stanley memperkirakan pangsa manufaktur India terhadap PDB akan naik dari 15,6 persen dari PDB saat ini menjadi 21 persen pada 2031, yang menyiratkan "bahwa pendapatan manufaktur dapat meningkat tiga kali lipat dari saat ini 447 miliar dolar AS menjadi sekitar 1.490 miliar dolar AS".
“Perusahaan multinasional lebih optimis dari sebelumnya untuk berinvestasi di India ... dan pemerintah mendorong investasi dengan membangun infrastruktur dan menyediakan lahan untuk pabrik,” kata perusahaan keuangan Morgan Stanley.
Analis senior dari Economist Intelligence Unit, Sumedha Dasgupta, mengatakan keuntungan India didapat karena adanya "tenaga kerja berbiaya rendah yang melimpah, biaya manufaktur yang rendah, keterbukaan terhadap investasi, kebijakan yang ramah bisnis, dan demografis muda dengan kecenderungan konsumsi yang kuat".
Faktor-faktor ini menjadikan India pilihan yang menarik untuk mendirikan pusat manufaktur hingga akhir dekade ini, tambahnya.
Faktor Risiko
Poin penting yang dapat meruntuhkan perkiraan Morgan Stanley salah satunya adalah resesi global yang berkepanjangan, karena India adalah negara yang sangat bergantung pada perdagangan dengan hampir 20 persen outputnya dikirim ke luar negeri.
Faktor risiko lain termasuk pasokan tenaga kerja yang terampil, peristiwa geopolitik yang merugikan, dan kesalahan kebijakan yang mungkin timbul dari "pemungutan suara di pemerintahan yang lebih lemah”.
Perlambatan global dapat mengurangi prospek bisnis ekspor India, kata Kementerian Keuangan India pada pekan lalu.
Meskipun PDB India sudah berada di atas level sebelum pandemi Covid-19, namun pertumbuhan ke depan akan “jauh lebih lemah” dibandingkan kuartal sebelumnya, kata kepala ekonom di perusahaan keuangan Nomura, Sonal Varma.
“PDB riil sekarang 8 persen di atas tingkat sebelum Covid dalam hal tingkat pertumbuhan ... tetapi dalam pandangan ke depan, ada hambatan dari kondisi keuangan sisi global,” kata Varma, yang memperingatkan akan ada perlambatan siklus.
Sementara Dhiraj Nim mengatakan, investasi sumber daya manusia dapat lebih diprioritaskan melalui pendidikan dan kesehatan.
“Ini sangat penting untuk ekonomi pasca-pandemi di mana gangguan yang lebih besar pada sektor informal berarti melebarnya kesenjangan ekonomi dan kekayaan,” katanya, seraya menambahkan penurunan tingkat partisipasi angkatan kerja, terutama di kalangan perempuan, yang memprihatinkan.