Laporan Wartawan Tribunnews.com, Yanuar Riezqi Yovanda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Inflasi Amerika Serikat mulai melambat di bulan November 2022 ditandai dengan Indeks Harga Konsumen (CPI) yang mencapai 7,1 persen secara year-on-year.
Associate Director of Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas Maximilianus Nico Demus berpendapat, laju inflasi AS melambat lebih cepat dari perkiraan.
Inflasi utama turun dari sebelumnya 7,7 persen menjadi 7,1 persen, dan inflasi inti Amerika turun dari sebelumnya 6,3 persen menjadi 6 persen.
"Kedua inflasi tersebut turun lebih dalam dari proyeksi kami sebelumnya. Tentu saja efek ini terasa cetar membahana, karena pada akhirnya ruang untuk The Fed menaikkan tingkat suku bunga yang tinggi semakin berkurang," ujar Nico melalui risetnya, Rabu (14/12/2022).
Dia menjelaskan, inflasi utama AS mencatatkan kenaikkan bulanan terkecil dalam lebih dari satu tahun terakhir, dan tentu saja harapan akan inflasi yang terkendali bukan lagi sekadar mimpi.
Kemudian, harga energi yang lebih rendah telah mendorong inflasi mengalami penurunan, mengimbangi kenaikkan biaya pangan.
Di sisi lain, indeks saham S&P 500 di Amerika melonjak pada pembukaan dan imbal hasil AS Treasury mengalami penurunan.
Baca juga: Inflasi AS Bulan November 2022 Melambat, Sentuh 7.1 Persen YoY
Lantas apa yang akan terjadi selanjutnya? "Tentu saja kita harus menunggu lonceng kedua dibunyikan, yaitu pertemuan The Fed yang akan berlangsung pada hari Kamis mendatang," kata Nico.
Dengan telah terbitnya data inflasi Amerika yang lebih rendah daripada yang diproyeksikan, tentu ini menjadi bekal luar biasa bagi The Fed mengadakan arisan.
"Kenaikkan 50 bps dapat dipastikan akan terjadi, karena inflasi yang mendukung alasan The Fed dalam membuat keputusan," tuturnya.
Baca juga: Janet Yellen Ingatkan Resesi Tak Terhindarkan Terjadi di AS
Sementara saat ini, pasar tenaga kerja di Negeri Paman Sam juga masih dalam posisi yang sangat kuat, meskipun sebetulnya mulai melemah.
Pengusaha di sebagian sektor masih terus menambah pekerjaan dan menaikkan upah, sehingga ketahanan tenaga kerja inilah yang dapat mendukung permintaan dan berkontribusi kepada kekhawatiran bahwa The Fed harus melangkah lebih keras untuk melakukan rem kebijakan untuk menjinakkan inflasi.
Dengan situasi dan kondisi yang ada, Nico menilai saat ini semua semakin yakin bahwa apa yang dikatakan oleh Gubernur The Fed Jerome Powell menjadi kenyataan.
Baca juga: Resesi di Amerika Serikat Tidak Bisa Dihindari, IMF Sebut Perlambatan Ekonomi akan Berlanjut di 2023
Bahwa perekonomian Amerika sudah jauh lebih kuat daripada yang kita bayangkan dalam menghadapi kenaikkan tingkat suku bunga.
Ketahanan pasar tenaga kerja inilah yang membuat The Fed harus melakukan lebih banyak untuk dapat mengendalikan inflasi secepat mungkin tanpa menyebabkan resesi.
"Sehingga fokus utamanya saat ini adalah, apakah dengan inflasi yang terkendali, akan membuat The Fed bersikap lunak? Sehingga akan menaikkan tingkat suku bunga dengan rentang yang terbatas?" ujar dia.
Ataukah justru inflasi yang melunak akan membuat The Fed semakin berani dalam menaikkan tingkat suku bunga.
"Naikkan suku bunga dengan tujuan inflasi secepatnya dapat dikendalikan agar tidak menimbulkan resesi di masa yang akan datang? Hari ini, semua akan kembali kepada persepsi dari The Fed pemirsa, dan tentu saja ini akan menjadi penting bagi keyakinan terhadap pelaku pasar dan investor di masa yang akan datang," ujarnya.