Laporan Wartawan Tribunnews.com, Yanuar Riezqi Yovanda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Bank Dunia dalam laporannya yakni Indonesia Economic Prospects (IEP) mengungkap perdagangan Indonesia tumbuh melambat dalam 4 dekade terakhir.
Tercermin dari volume ekspor barang dan jasa manufaktur Indonesia yang tak hanya tertingal dari rata-rata dunia, melainkan juga tertinggal dari negara tetangga ASEAN.
"Porsi ekspor manufaktur Indonesia di dunia hanya bertahan di angka 1,1 persen," ujar Associate Director of Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas Maximilianus Nico Demus melalui risetnya, Selasa (20/12/2022).
Sementara, Vietnam mampu meningkatkan porsi ekspor manufakturnya di kancah global, dari 0,2 persen pada 2000 menjadi 1,6 persen pada 2020.
Baca juga: Prediksi Bank Dunia: Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tahun 2023 Hanya 4,8 Persen
Di samping Vietnam, Bank Dunia juga melihat beberapa negara tetangga seperti Thailand dan Malaysia berhasil membangun kapasitas produktif untuk diversifikasi ke industri yang bernilai tambah lebih tinggi.
"Dari sisi rasio ekspor terhadap GDP juga berada di bawah peers-nya, sehingga Bank Dunia memberikan beberapa rekomendasi dari sisi kebijakan dalam perdagangan yang dapat dilakukan Indonesia untuk meningkatkan kinerja industri pengolahan yang lebih baik," kata Nico
Rekomendasi pertama, yakni melakukan diversifikasi produk didukung dengan kebijakan pendukung yang tepat, sehingga menghasilkan produk dengan nilai tambah tinggi.
Kedua, memperdalam perjanjian perdagangan yang ada, dan mengejar perjanjian dagang yang lebih komprehensif.
Ketiga, mempercepat fasilitas perdagangan dan reformasi logistik, dan keempat yakni menuntaskan kendala yang mengikat untuk perdagangan jasa.
"Di samping ekspor, impor juga dinilai penting bagi ekonomi dalam negeri sebagai nilai tambah domestik. Dalam hal ini kami melihat dari sisi ketersediaan dan kualitas bahan baku yang lebih baik, sehingga produk dalam negeri dapat bernilai lebih tinggi," tutur Nico.
Meski demikian, Indonesia dinilai memiliki kesempatan yang cukup besar bahkan dinilai signifikan dengan reformasi struktural yang saat ini gencar dikembangkan.
Hal ini tercermin dari hilirisasi dan industrialisasi yang tengah dibangun di mana selain meningkatkan nilai tambah, tapi juga dapat menyerap banyak tenaga kerja.
Indonesia pun dinilai dapat meningkatkan keunggulan komparatifnya dalam padat karya industri manufaktur yang bernilai tambah tinggi.
"Sehingga, strategi reformasi dibuat dalam tiga pilar kerangka kebijakan yakni pertumbuhan, transformasi ekonomi dan perdagangan. Di mana channel yang dibangun yaitu alokasi sumber daya yang lebih efisien, skala ekonomi, pengembangan dalam produktivitas, job creation dan upah yang lebih tinggi, inovasi teknologi, penurunan tingkat kemiskinan serta meningkatkan ketahanan dan mengurangi kerentanan terhadap guncangan yang bersumber dari eksternal," ujar dia.
Baca juga: Pemerintah Ambisius Pertumbuhan Ekonomi RI 2023 Sebesar 5,3 Persen, Bank Dunia Ramal Tak Tercapai
Nico menambahkan, reformasi yang ditargetkan diproyeksikan dapat meningkatkan produk domestik bruto (PDB) sebesar 5 persen dalam jangka menengah hingga panjang.
Di mana investasi dinilai akan menjadi pendorong utama dan diikuti oleh ekspor dan impor serta pertumbuhan ekonomi itu sendiri.
"Kami memandang bahwa commodity headwind dan hilirisasi hingga industrialisasi bahan baku menjadi bernilai tambah merupakan salah satu langkah yang ditempuh untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dalam negeri dan menstimulus pertumbuhan perdagangan. Meskipun saat ini tren ekspor sudah mengalami penurunan imbas permintaan yang melemah seiring dengan potensi perlambatan ekonomi global, secara jangka menengah-panjang kami optimis akan ada normalisasi dan industri pengolahan Indonesia akan perform di kancah internasional," pungkasnya.